Wednesday, December 02, 2009

Hubungan Unik antara Ketapang dan Cupang

Ketika suatu saat saya berkunjung ke tempat teman, yang kebetulan sama-sama penggemar betta (atau cupang), terkejut bukan main hati saya. Ini kok ngaku – ngaku hobiis betta, tapi membiarkan air – air dalam aquarium mungilnya begitu kotor, kuning, bahkan beberapa diantaranya sangat pekat.

Sedikit bercanda, saya berseloroh. “itu cupang-cupang lu asli jawa ya, kok minumnya air teh, atau lu kasih air seni?”. “kasian banget nasib ikan – ikan lu kalo gitu”. Tambahku.

“Itu gue kasih air rebusan ketapang”. Jawabannya singkat. “maklum baru gue kawinin”

Terkejut, tapi gak mau dibilang bodoh. Sengaja aku diam atas jawabannya, takut dibilang bukan hobiis sejati cupang. Aku simpan jawaban itu, penasaran sama si “ketapang” ini.

Ingatan saya kembali ke masa kecil, dulu di perumahan orang bule di bilangan kuningan, banyak banget pohon ketapang. Pohon ketapang itu sendiri tingginya sekitar 20 meter lebih, terbilang tinggi untuk ukuran pohon di Jakarta. Setiap pulang sekolah, saya dan teman – teman selalu mengumpulkan biji – biji ketapang itu, dipecahkan kulitnya untuk kemudian daging buahnya kami makan. Rasa kacang bercampur kenari bermain dilidah kami. Tak jarang kami harus dikejar – kejar satpam, karena untuk mendapatkan buah ketapang kami harus melemparnya dengan batu. Kalo musim kemarau tiba, kami berguling2an diatas hamparan daun ketapang yang selalu rontok.

Di bangku kuliah saya mengenalnya lebih mendalam, tentang ciri – ciri fisik, habitus. Dan penyebarannya. Saya sekarang sering menemukan daunnya teronggok di dasar aquarium cupang. Berbekal sebuah laptop tua keluaran akhir 2003, dimulailah pencarian tentang si ketapang ini dan hubungannya yang unik dengan betta – betta kesayangan saya. Dan coba saya paparkan dalam beberapa deskripsi berikut.

Apa dan Bagaimana si “Indian Almond”
Menurut binomial nomenklatur, ketapang diidentifikasi sebagai Terminalia cattapa, dari keluarga Combretaceae. Karena penyebarannya yang kosmopolit, sehingga tidak diketahui asal usul dari tanaman ini. Ada beberapa nama yang disematkan untuk pohon ini; Bengal almond, Singapore almond, Ebelebo, Malabar almond, Indian almond, Tropical almond, Sea almond, pohon Talisay, pohon Payung dan Zanmande (creole).

Beberapa ilmuwan pernah menemukan pohon ketapang tertinggi hingga mencapai 35 m. Nama pohon payung memang identik dengan bentuk percabangan dan tajuk yang menyerupai payung, melebar dan melingkar luas (diameter tajuk mencapai 20 m). Kayunya termasuk jenis kayu keras yang memiliki resisten tinggi. Kulit pohonnya membentuk uliran kecil seperti mengelupas, layaknya kita temukan pada pohon-pohon sengon atau jeunjing.

Kalau melihat daunnya, jangan sampai tertukar dengan pohon mete, karena memang kedua pohon ini mempunyai daun yang agak mirip, dengan tulang daun yang sangat terlihat jelas. Walaupun beberapa daun ketapang tumbuh kecil, tapi rata-rata daun ketapang memiliki panjang daun 15 – 25 cm dengan lebar daun mencapai 14 cm. Permukaan daunnya terlihat licin dan berminyak. Pada musim kemarau pohon ini mempunyai sifat menggugurkan daunnya untuk menyimpan cadangan air lebih banyak, dan beberapa fungsi tumbuhan menjadi dorman. Daun yang mengering kemudian berubah warna menjadi kuning, merah, dan coklat ketika mengering.

Bunga ketapang, berkelamin ganda, dan berada dalam satu pohon. Buahnya sendiri diselimuti kulit lunak berserabut, biji dalam tiap buah hanya terdapat satu, seperti pada buah kenari. Rasanya juga mirip buah almond, dan aman untuk dimakan.

Secara alami, pohon ketapang tersebar di hutan dataran rendah di daerah tropis. Pohon ketapang sering dijadikan indikator adanya hutan pantai, selain pohon pandan dan waru laut. Karena sifat alaminya yang mempunyai daya hidup tinggi, dan bentuk tajuk yang melebar, ketapang merupakan pilihan utama dalam menghiasi dan meneduhi perumahan - perumahan baru atau wilayah halaman perkantoran di jakarta. Sangat mudah untuk menemukannya di sekitar kita. Apalagi untuk mereka yang tinggal di perumahan baru.

Daun Ketapang dan kesehatan
Ada beberapa kandungan alami yang terkandung dalam daun ketapang (dan buah), antara lain: flavonoids (sama halnya dengan kaempferol atau quercetin) atau dikenal dengan vitamin P atau citrin, tanin (punicalin, punicalagin atau tercatin seperti halnya pada teh, anggur, strawberry, delima, pomegranate, aren-arenan), saponin yang dipakai sebagai surfaktan, dan phytosterol (kolesterol tumbuhan dengan sedikit kandungan alkohol). unsur lain yang terdapat dalam daun ketapang antara lain; Sulfur, Nitrogen fosfor in dalam bobot beragam. Ketapang juga mengandung logam seperti Ca, Mg, Cu, Zn etc

Demikian kaya kandungan yang terdapat dalam daun ketapang, sehingga sangat umum menggunakannya dalam pengobatan alternatif yang sangat berguna. Lihat saja, di Taiwan orang sering memanfaatkan daun keringnya untuk mengobati liver dan air rebusannya dipakai untuk mengobati sakit kulit. Di suriname, teh yang terbuat dari seduhan daun ketapang diyakini bisa menyembuhkan disentri dan diarhea. Beberapa penelitian lebih lanjut tengah dilakukan untuk kemungkinan dipakai dalam pengobatan kanker, dan antioksidan.

Cupang dan Daun Ketapang
Di alam, penyebaran ketapang juga bisa ditemui di pinggir sungai, rawa, gambut (atau diamazon sering dihubungkan dengan ekosistm blackwater) dan danau. Tempat-tempat ini merupakan habitat alami cupang. Sangat mudah menemukan cupang bila disekitarnya terdapat pohon ketapang, cukup mencari dibawah guguran daun ketapang dan ternyata ini menjadi tempat favorit betta untuk berbiak. Ini yang kemudian yang menggugah rasa ingin tahu peneliti tersebut secara lebih lanjut.

Bila dilihat manfaat ketapang yang begitu banyak untuk manusia, demikian halnya untuk betta yang ada di aquarium kita. Betta yang ditemukan hidup disekitar guguran daun ketapang terlihat lebih aktif (lincah), kilauan warna dan sisiknya menjadi lebih cerah, dan tentu saja sehat.

Kandungan tanin, mineral, dan vitamin pada daun ketapang dapat merangsang pertumbuhan dan perkembangan bakteri berguna seperti infusoria dan beberapa bakteri lain. Kemudian bakteri inilah yang menjadi sumber pakan bagi burayak – burayak betta di alam. Begitu juga kandungan asam humik dan logam yang dapat menetralkan kondisi pH air, walaupun kondisi sekitarnya begitu ekstrim. Selain itu biasanya betta yang baru saja ditandingkan mengalami luka pada tubuh atau stress ketika kontes, maka daun ketapang menjadi pilihan tepat untuk memulihkan kembali kondisi betta kesayangan kita.

Tentu saja penggunaan bagi para hobiis betta harus diperhatikan. Yew (2004) dan beberapa peneliti dalam sebuah artikelnya menyebutkan dosis yang tepat untuk menjaga kesehatan betta adalah 1-2 daun ketapang dalam 50 liter air. Teknik paling mudah untuk mengeluarkan kandungan yang ada dalam daun ketapang adalah dengan cara merebusnya. Bila kita tidak ingin merebusnya, cukup biarkan selama 2 – 3 hari dalam air, sampai daun tersebut ternggelam dalam air. Jangan lupa untuk menggantinya setiap 15 hari sekali.

Kerusakan ekor dalam pengiriman betta dapat diminimalisasi dengan menambahkan larutan ketapang dalam airnya, kandungan tannin dan phytosterol dengan dosis agak tinggi dapat memberikan rasa tenang (bius ringan) pada betta. Dosis ini juga disesuaikan dengan jarak dan lama pengiriman.

Dalam keadaan kering daun ketapang dapat disimpan selama 6 bulan. Asalkan jauhkan dari tempat yang lembab dan terlindung dari sinar matahari dan panas.

Ini juga yang mendasari atison betta untuk mengembangkannya menjadi sebuah produk siap pakai dalam bentuk ekstrak daun ketapang dengan brand “Atison's Betta Spa Ketapang Leaf Extract”. Kemasannya dapat dilihat di: http://www.bluebettausa.com/galleryac1.htm.

Jadi, tunggu apalagi, gak usah malu untuk memunguti daun – daun ketapang yang gugur, walaupun harus menghentikan motor dan mobil yang anda kendarai sejenak. Selama berguna untuk betta kesayangan kita. elnino (02-12-2009)


Posted under real circumstance, source will be published and will not claimed as its own writing

Monday, November 30, 2009

Betta Strange Behaviour: "Tail Biting"

oleh : elnino

Pernahkah kita merasakan kecewa ketika membuka kiriman paket yang di tunggu – tunggu? Kiriman Cupang (Betta) yang memang kita sangat dambakan, dan akhirnya bisa terbeli. Betapa kagetnya kita setelah mengetahui bahwa betta yang ada dalam paket tersebut sudah kehilangan setengah dari ekornya, Marah atau kesal pastinya, tak jarang bila kita merasa tertipu. Padahal betta tersebut di beli dari farm atau breeder yang ternama, apalagi biasanya tercantum prasyarat bahwa segala kerusakan selama pengiriman diluar tanggung jawab penjual. Atau ketika pulang dari kantor, kita menemukan betta HM kesayangan yang ada di aquarium terlihat lesu, dengan serpihan ekor tersebar di lantai aquarium?

Salah satu daya tarik betta terletak pada keindahan ekornya, salah satu kriteria penilaian dalam kontes-kontes ikan cupang yang di adakan selama ini dikelompokkan pada kelas ekor, dan itu juga yang dapat membedakan jenis betta satu dengan yang lain. Sejauh ini ada beberapa jenis yang sering diperlombakan. Halfmoon, Plakat, Double Tail, Rosetail, Delta (Slayer), dan tentu saja jenis ekor kebanggaan kita karena produk asli anak bangsa Crown Tail (Serit). Namun seketika daya tarik itu hilang ketika ekor betta mengalami kerusakan.

Apa Sebenarnya yang menyebabkan kerusakan ekor betta

Memang kerusakan ekor umumnya terjadi bila betta tersebut di tempatkan dalam satu tempat dengan betta yang lain. Harus kita sadari adalah, betta adalah ikan soliter yang tidak bisa dicampur.

Dalam beberapa kasus yang terjadi, ada perilaku aneh pada betta, yaitu mengigiti ekornya sendiri. Perilaku ini umum terjadi pada jantan, tapi tidak sedikit juga terlihat pada betina, terutama untuk jenis ekor dan sirip panjang. Apa yang menyebabkannya? Stress, itu yang pasti. Ada beberapa kondisi yang menyebabkan betta tersebut menjadi stress

Stress. Kondisi ini biasa ditemui ketika cupang berada dalam pengiriman. Selama pengiriman betta ditempatkan di dalam plastik beroksigen, namun kondisinya sangat gelap dan ukuran kemasan yang sangat kecil. Guncangan – guncangan mengakibatkan stress pada betta, kadangkali posisi ekor menyentuh wajah betta, secara otomatis dan naluriah, betta akan melakukan “self defense” dan menganggap bahwa yang mengenai wajahnya adalah ikan lain. Pada jenis plakat dan betina, kondisi ini juga bisa terjadi, karena tubuh betta selama pengiriman dalam posisi meringkuk.

Kadang kala untuk melihat keindahan sirip dan ekor betta, kita menempatkan lampu penghias, sehingga ketika malam tiba, betta masih bisa terlihat. Padahal mata betta sangat sensitif terhadap cahaya dan gerakan. Intensitas cahaya yang kuat dan berlebihan dapat mengakibatkan kebutaan sehingga betta mengalami kebingungan yang luar biasa. Jangan kaget bila kita memasang lampu 24 jam, lalu menemukan sisa-sisa potongan sirip dan ekor pada lantai akuariumnya.

Kondisi lain yang dapat membuat betta stress adalah kita terlalu memantau, pada saat betta menajga telurnya atau anak2nya. Mengontrol ikan cupang yang sedang menjaga telur atau burayak memang perlu, tapi harap diingat intensitasnya. Memang sebuah kebanggan dapat membiakkan betta kesayangan kita.

Genetik. Beberapa penelitian menyebutkan, bahwa “tail biting” merupakan sifat genetis dari setiap betta, yang bisa diturunkan. Jadi setiap betta berpotensi untuk memiliki sifat “tail biting”, terlebih dengan sensitivitas dan pengaruh stress dari betta itu sendiri.

Pemberian Pakan dan Higienis. Intensitas pemberian yang tidak teratur, atau betta dibiarkan terlalu lama dalam kondisi tanpa pakan dalam aquarium, atau kondisi air yang kotor membuat betta juga menjadi stress. Perlakuan kasar juga dapat menimbulkan stress pada betta. Tidak benar bila kerusakan ekor betta disebabkan oleh kemampuan meregangkan sirip-siripnya yang indah.

Pengaruh rusak ekor dan penanganan
Rusak ekor atau sirip adalah luka terbuka yang rentan dan bisa memancing datangnya jamur dan parasit yang merugikan bagi kesehatan betta. Tidak jarang bila kondisi tersebut dibiarkan larut, kematian juga terjadi.

Bila betta telah mengalami kerusakan ekor, bila terlambat, jangan kaget bila kemudian kita menemukan betta kesayangan kita sudah tidak bernyawa. Segera lakukan langkah untuk mencegah berkembangnya jamur atau parasit. Obat2an ikan seperti blitz itch, reid all, fishmate, atau root stop dan pencegah jamur yang mengandung melafix dengan dosis sesuai dengan yang dianjurkan. Untuk kondisi ringan sirip betta akan kembali sehat, walaupun tidak akan bisa sama persis dengan kondisi semula sebelum rusak ekor terjadi.

Daya tarik betta terletak pada keindahan sirip, bila sirip rusak otomatis menjatuhkan “nilai jual” dari betta itu sendiri. Untuk breeder ini tidak menjadi masalah, dari pengalaman beberapa breeder, mereka tetap membiakkan betta tersebut walau siripnya sudah rusak. Sifat rusak ekor ini tidak diturunkan kepada burayak2nya.

Perhatikan kualitas air dari aquarium tempat betta. Jangan pernah lengah dalam mengatur kualitas air tersebut dengan menggantinya secara periodik atau kondisi tertentu, apalagi pada saat awal musim hujan yang berpengaruh juga terhadap kadar kimiawi air tersebut.

Biasanya dalam pengiriman, betta diberikan sedikit daun almond ke dalam air, fungsi daun almond ini bila menyerap dalam air adalah dapat memberikan ketenangan (bius ringan) pada betta selama pengiriman. Dosis yang diberikan disesuaikan dengan jarak tempuh dan lama perjalanan.

Perhatikan pemberian intensitas cahaya lingkungan sekitar aquarium, atau pada saat pemotretan betta. Jangan pula membatasi, karena cahaya juga berpengaruh pada hasil foto betta menajdi llebih mengagumkan.

Siapa yang tidak senang bila betta kembali sehat. Mari kita jaga betta kesayangan kita, dan juga melestarikan salah satu kekayaan sumber daya alam hayati Indonesia. Jayalah Betta Indonesia.

Elnino (dari berbagai sumber)

Posted under real circumstance, source will be published and will not claimed as its own writing

Friday, November 06, 2009

POTENSI POPULASI TIGA LARVA TRICHOPTERA SEBAGAI BIOINDIKATOR PENCEMARAN SUNGAI CILIWUNG

Oleh: Nurlena Hayati

Penelitian ini bertujuan untuk melihat keberadaan populasi larva Trichoptera di
sungai Ciliwung dan potensinya sebagai bioindikator.

Pencuplikan larva Trichoptera diambil menggunakan jala surber berukuran 30cmX30cm sepanjang lintasan lurus 10 meter di tiap stasiun dari tujuh lokasi yang berbeda yaitu: tiga lokasi di wilayah hulu (Legok Bulus, Gunung Mas dan Mega Mendung) dan
wilayah tengah meliputi empat lokasi (Kampung Pensiunan, Kampung Jogjogan,
Baranangsiang dan PDAM Cibinong).

Pencuplikan telah dilakukan dari bulan Juli sampai Oktober 2008. Hasil pencuplikan di semua wilayah penelitian ditemukan tiga larva Trichoptera yaitu Hydropsyche sp, Lymnephilidae sp, dan Rhyachopila sp. Pada stasiun Legok Bulus ditemukan 81% Hydropsyche sp, 3% Lymnephilidae sp dan 16% Rhyachopila sp. Gunung Mas ditemukan 73%
Hydropsyche sp 13% Lymnephilidae sp dan 14% Rhyachopila sp. Mega Mendung ditemukan 68,4% Hydropsyche sp dan 31,58% Lymnephilidae sp. Kampung Pensiunan ditemukan 90% Hydropsyche sp, 4% Lymnephilidae sp dan 16% Rhyachopila sp. Kampung Jogjogan ditemukan 100% Hydropsyche sp. Baranangsiang ditemukan 100% Hydropsyche sp dan PDAM Cibinong ditemukan 100% Hydropsyche sp.

Berdasarkan fisika kimia pada masing masing stasiun bahwa stasiun Legok Bulus, Gunung Mas, Mega Mendung tergolong stasiun yang belum tercemar (bersih) dengan jumlah individu larva Hydrophyse sp yang rendah antara 13-104, jumlah individu Lymnephilidae sp yang tinggi antara 4-15, dan Rhyachopila sp yang tinggi antara 6-20 individu. Stasiun Kampung Pensiunan, Kampung Jogjogan, Baranangsiang dan PDAM Cibinong tergolong sungai mulai tercemar ringan dengan jumlah individu larva Hydrophyse sp yang tinggi antara 204-1935, jumlah individu Lymnephilidae sp yang rendah antara 0-2, dan jumlah individu Rhyachopila sp yang rendah di bawah 7.

Kata kunci: Larva Trichoptera, bioindikator, Sungai Ciliwung.

English Version:

THE POTENTIAL OF TRICHOPTERA LARVAE POPULATIONS AS BIOINDICATOR OF POLLUTION IN CILIWUNG RIVER

Due to the existence of watercourse from upstream to downstream, besides the
economical and ecological resources, river is an aquatic ecosystem with specific
characteristics. The objectives of this study is to observe the occurrence of
Trichoptera larvae in Ciliwung river and its potential as bioindicator.

Collections of Trichoptera larvae were done using sorbet net (30cmX30cm) in a 10 meters transect line from seven different sites i.e: 3 sites (Legok Bulus. Gunung Mas,
Mega Mendung) consider as upper part and 4 sites (Kampung Pensiunan, Kampung Jogjogan, Baranangsiang, PDAM Cibinong) consider as middle part of the Ciliwung river. Sampling was conducted once in a month from July to October 2008. The aspects of water to be measured were temperature, TSS, DO, BOD5, pH, COD and nutrient (nitate, nitrite, ammonium).

The results found species of Trichoptera i.e: Hydropsyche sp, Lymnephilidae sp and Rhyachopila sp. In Legok Bulus found 81% Hydropsyche sp, 3% Lymnephilidae sp and 16%
Rhyachopila sp. In Gunung Mas found 73% Hydropsyche sp, 13% Lymnephilidae sp and 14% Rhyachopila sp. In Mega Mendung found 68,4% Hydropsyche sp, 31,58% Lymnephilidae sp. In Kampung Pensiunan found 90% Hydropsyche sp, 4% Lymnephilidae sp and 16% Rhyachopila sp. In Kampung Jogjogan found 100% Hydropsyche sp. In Baranangsiang found 100% Hydropsyche sp. In PDAM Cibinong 100% Hydropsyche sp. Based on relation of the physical and chemical factor, the study showed that two communities of Trichoptera on community was in Legok Bulus, Gunung Mas and Mega Mendung. The physical and chemical
factor which related to temperature, TSS, DO, COD, nitrate and nitrite. Then Trichoptera larva composed in this station, there were Hydropsyche sp, Lymnephilidae sp and Rhyachopila sp. The second communite consisted of four stations such as Kampung Pensiunan, Kampung Jogjogan, Baranangsiang and PDAM Cibinong.

The physical and chemical factor whic related to temperature, nitrate, ammonium and larva of Trichoptera was dominated by Hydropsyche sp. Based on scoring of physical and chemical, determination of ecological status of Ciliwung river showed that Legok Bulus, Mega Mendung and Gunung Mas could be consider as un polluted condition indicate by low number of Hydropsyche sp (13-104 individuals), high number of Lymnephilidae sp (4-15 individuals) and high number of Rhyachopila sp (15-20 individuals). At Kampung Pensiunan, Kampung Jogjogan, Baranangsiang and PDAM Cibinong consider as a light polluted condition indicate by the high number of Hydropsyche sp sp (204-1935) individuals), low number of Lymnephilidae sp (0-2individuals) and low number of Rhyachopila sp (7 individuals).

Key words: Bioindicator, Ciliwung River, Trichopter

Posted under real circumstance, source will be published and will not claimed as its own writing

Monday, November 02, 2009

HUTAN NAGARI ATAU HUTAN DESA

Oleh Nurul Firmansyah, SH

Hak ulayat bagi nagari tidak dipandang dari sisi ekonomi belaka, namun merasuk pada relung sosial dan budayanya. Keberadaan hak ulayat menjamin ikatan sosial dan budaya, seperti yang tersirat dalam adigium adat; Sako Pusako, yang bermakna; keutuhan struktur sosial masyarakat nagari berbanding lurus dengan keutuhan hak ulayat. Sikap ini kemudian melahirkan kesadaran kolektif masyarakat nagari, bahwa; hak ulayat harus dimanfaatkan, di kelola dan dipelihara untuk keberlangsungan antar generasi.

Telah jamak dipahami tentang eksistensi hak ulayat merupakan bagian integral yang tidak bisa dipisahkan dari nagari. Pendapat ini bukan hanya diusung oleh masyarakat nagari sebagai pemangku hak ulayat, namun juga di pahami oleh pelbagai pihak, termasuk didalamnya, para pengambil kebijakan di tingkat daerah (propinsi Sumatera Barat). Setidaknya, hal ini tersirat dalam Nota penjelasan Gubernur Sumatera Barat pada tanggal 4 February 2003 di hadapan Sidang Paripurna DPRD Sumatera barat dalam proses pembahasan Rancangan Perda Pemanfaatan Tanah Ulayat yang menyebutkan; “Pengaturan tanah ulayat mempunyai keterkaitan yang erat dengan prinsip kembali ke nagari sebagaimana di maksud oleh Peraturan daerah Sumatera Barat No.9 tahun 2000 tentang ketentuan Pokok Pemerintahan Nagari. Perda No.9 tahun 2000 merupakan suatu titik tolak yang mendasar untuk dapat mengatur dan mengelola tanah ulayat, karena hidup bernagari mempunyai korelasi yang sangat kuat dengan tanah ulayat dan adat istiadat.”

Realitas Hutan Nagari.
Realitas hak ulayat dalam wacana publik dan konstruksi adat tidak sebanding dengan kenyataan peminggiran hak ulayat oleh kebijakan pengelolaan sumber daya alam terutama kebijakan kehutanan nasional. UU No.41 tahun 1999 tentang kehutanan memposisikan hak ulayat atas hutan (hutan nagari / hutan adat) terabaikan oleh posisi hutan negara yang kemudian diikuti oleh pengikisan sistem pengelolaan hutan nasional terhadap pola pengelolaan hutan secara adat. Proses peminggiran hutan nagari tersebut berawal dari penunjukan sepihak kawasan hutan oleh pemerintah (Departemen Kehutanan) baik itu pada kawasan konservasi, produksi, maupun lindung, yang berakibat pada putusnya hubungan hukum antara masyarakat nagari dengan hutan nagarinya.

Secara empirik, situasi ini diatas menimbulkan pelbagai dampak yang serius bagi nagari dan juga bagi ekosistem hutan. Dari catatan Perkumpulan Qbar di nagari Guguk Malalo, kabupaten tanah datar, dan Nagari Simanau, Kabupaten Solok, dampak-dampak tersebut mencuat, berupa; pertama, hilangnya kearifan lokal (sistem adat) dalam pengelolaan hutan oleh masyarakat nagari yang tergantikan dengan pola pengelolaan hutan berbasis negara yang sentralistik dan berorientasi ekonomi belaka, kedua, pemiskinan masyarakat nagari akibat hilangnya sumber ekonomi atas hutan, ketiga, deforestasi akibat hilangnya kontrol masyarakat nagari, terutama para pemangku adat ditingkat nagari atas aktifitas pembalakan kayu.

Menggiring Hutan Desa dalam Hutan Nagari
Seraya bergulirnya waktu, Permenhut No. P 49 / menhut – II / 2008 Tentang Hutan Desa (kemudian disebut P49) terbit pada bulan september tahun ini. Bila di telaah dengan cermat, terlihat bahwa P49 lahir dari realitas sosiol ketidakadilan pengelolaan hutan, terutama ketidakadilan bagi masyarakat desa yang hidup di sekitar/dalam kawasan hutan yang notabene adalah masyarakat adat, atau pada lingkup yang lebih kecil yaitu nagari. Semangat diatas terproyeksi dari klausul menimbang dalam permenhut ini, namun sayangnya, P49 belum tuntas mengacu semangat tersebut dalam konstruksi norma-normanya, karena; P49 belum menyentuh persoalan struktural kehutanan disebabkan P49 hanya membuka ruang bagi desa/nama lain (termasuk Nagari) untuk mendapatkan akses pengelolaan hutan di kawasan hutan (produksi dan lindung), dalam artian membuka akses nagari untuk mengelola hutan negara berdasarkan ketentuan-ketentuan yang diatur dalam P 49. Artinya kebijakan ini belum tuntas merubah ketimpangan penguasaan hutan (hutan negara atas hutan adat), dan reduksi-reduksi kearifan lokal dalam watak pengelolaan hutan nasional. Kelemahan itu merupakan konsekuensi logis dari logika perundang-undangan yang hirarkis yang mengacu pada perundang-undangan yang lebih tinggi, yaitu; UU No.41 tahun 1999 tentang Kehutanan yang belum mengakui secara utuh hutan adat.

Terlepas dari kendala-kendala yuridis diatas, tentunya akses yang dibuka oleh P 49 terhadap pengelolaan hutan oleh desa / nagari melahirkan peluang sekaligus tantangan bagi masyarakat nagari untuk mengelola hutan secara adil dan lestari. Adapun tantangan utama yang muncul dari pemberlakukan P 49 yakni; pertama, minimnya peran pemerintah terhadap lembaga desa yang mengelola hutan desa, dimana hanya pada fasilitasi teknis dan manejerial hutan desa, sedangkan dukungan pembiayaan pengelolaan hutan desa diserahkan sendiri oleh lembaga desa. Hal ini memberi peluang bagi pemilik modal untuk memanfaatkan keberadaan hutan desa bagi eksploitasi ekonomi belaka yang menggunakan lembaga desa. Kedua, pengelolaan hutan desa mempunyai jangka waktu tertentu, yaitu 35 tahun, artinya pemerintah dapat mencabut atau memperpanjang keberadaan hutan desa.

Di sisi lain, peluang pengelolaan hutan desa atau hutan nagari di sumatera barat bisa terwujud apabila terdapat kesepahaman multipihak antara nagari dengan pemerintah daerah dan masyarakat sipil. Peluang yang diberikan P 49 harus ditangkap dengan memberikan fasilitasi intens dan serius dari pemerintah daerah dan kekuatan masyarakat sipil lainnya dalam mendorong nagari dalam mengelola hutannya. Dukungan tersebut berupa dukungan terhadap pola kearifan nagari, peningkatan kapasitas, maupun pembiayaan pengelolaan hutan sehingga ekses nagatif maupun peluang kegagalan pengelolaan hutan oleh nagari bisa diminimalisir.

Posted under real circumstance, source will be published and will not claimed as its own writing

Friday, October 30, 2009

Apa yang anda Pikirkan ketika mendengar Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim?

Riau Menghadapi Adaptasi Adaptasi dan Mitigasi
by: FADIL NANDILA

I. PENDAHULUAN
Dalam keadaan normal, suhu udara rata-rata di Propinsi Riau adalah 35 derajat Celcius dan saat ini mencapai 35,9 derajat Celcius, hal ini abnormal menurut Blucher Dolok Saribu, Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika, Pekanbaru sebagaimana dikutip Kasri (2009) dalam makalahnya yang disampaikan pada acara Peringatan Hari Lingkungan Hidup se Dunia 2009, 18 Juni 2009 di Bagan siapi-api, Rokan Hilir. Pada makalah tersebut juga terlaporkan bahwasanya pada tanggal 28 Mei 2009, saat mendampingi mahasiswa Pascasarjana Universitas Riau melakukan praktikum di Sungai Sail Pekanbaru, mencatat suhu udara berada pada kisaran 38,5 derajat Celcius. Sementara di harian Riau Pos tertanggal 2 Juli 2009, Dosen Pascasarjana ini menyampaikan bahwa National Centre for Scientific Research (CNRS) yang berbasis di Paris seperti dikutip kantor berita AFP (24-01-2008) melaporkan, sepanjang dua tahun terakhir, wilayah Arktik di Kutub Utara kehilangan es seluas dua kali luas Prancis atau sepuluh kali pulau jawa.


II. SKENARIO PENURUNAN POPULASI MANUSIA OLEH FENOMENA PERUBAHAN IKLIM

Bagaimana tingkat stabilitas populasi manusia mulai dari habitat kutub hingga subtropis, jika hewan sumber protein manusia mulai menghilang karena mencairnya es di kutub bumi yang berakibat pada menurunnya populasi hewan sebagai makanan utama manusia di sana? Mortalitas populasi manusia di sana akan tinggi karena kebutuhan protein hewani sebagai penghangat tubuh mereka semakin berkurang. Bagaimana pula dengan tingkat stabilitas populasi manusia di habitat tropis hingga subtropis? Dari sisi konsumsi mungkin masih relatif aman, tapi dari perubahan cuaca, mortalitas populasi manusia akan tinggi dikarenakan fluktuasi suhu yang ekstrim. Hal ini menyebabkan wabah penyakit, kekeringan, dehidrasi yang mengganggu metabolisme tubuh manusia. Selain itu perubahan iklim pun mengancam manusia dalam bentuk bencana alam dan bencana ekologi yang frekwensi kehadiranannya tidak teratur dan sulit diprediksi.
Lalu, apakah dengan situasi ini kita buru-buru pasrah dengan alasan kehendak Tuhan menciptakan kiamat kecil? Atau kita harus cepat beradaptasi sehingga selamat dari kiamat kecil ini? Mari menjadi manusia unggul yang mampu bertahan dan tetap berkembang dalam situasi iklim yang kurang menguntungkan. Sesuai dengan pernyataan Kasry (2009) di harian Riau Pos tanggal 2 Juli 2009; masyarakat baik sebagai individu maupun kelompok dapat berperan aktif, misalnya mengurangi konsumsi listrik, mengurangi penggunaan kendaraan pribadi dan lebih banyak menggunakan transportasi massal ataupun bersepeda dan berjalan kaki, menanam pohon di sekitar rumah dan lingkungan tempat tinggalnya.
Untuk berperan aktifnya individu manusia seperti saran tersebut maka diperlukan penyusunan model yang dapat di aplikasi oleh para partisipan yang peduli pada upaya mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim.
2.1. Bencana alam dan bencana ekologi
Energi mengalir dari satu materi ke materi lain selalu menghasilkan dispersi energi, belum terbukti bahwa energi dapat termanfaatkan 100% oleh satu sistem materi. Bencana alam merupakan gejala alamiah dalam keseimbangan ekosistem dikarenakan fenomena dispersi energi. Petir mengakibatkan kebakaran, hujan mengakibatkan banjir, suhu mengakibatkan kekeringan dan timbunan salju, angin ribut yang mengakibatkan kehancuran, pergeseran lempeng, pelepasan gas, cairan dan padatan dari perut bumi yang menyebabkan gempa semua terjadi karena keberadaan dispersi energi baik berbentuk kinetik maupun potensial. Gejala-gejala ini pun selalu diikuti oleh natalitas, mortalitas dan suksesi populasi tertentu secara alamiah yang berakibat pada perubahan rantai makanan dalam jejaring makanan. Dengan demikian bencana alam juga menyebabkan hadirnya bencana ekologi.
Preposisi ini sesuai dengan pernyataan bahwasanya bencana alam yang hadir pada suatu kawasan berakibat pada ketidak nyamanan dalam habitat sehingga perlu waktu yang cukup untuk pemulihan kondisi hingga habitat kembali nyaman dinaungi oleh berbagai populasi sehingga rantai makanan kembali normal (Kasry, 2007). Selain itu, menurut Diposaptono (2008), Gempa dan Tsunami di Nangro Aceh Darusalam tahun 2005 menghancurkan habitat wilayah pesisir baik yang alami seperti hutan mangrove maupun buatan seperti pertambakan. Kehancuran ini selanjutnya disikapi dengan program recovery baik dengan cara pembangunan infrastruktur baru maupun rekayasa komunitas pesisir baru. Jika recovery tidak dianalisis dengan baik rencana rekayasanya maka akan mengakibatkan bencana ekologi di kawasan berdekatan dengannya. Situasi ini hampir sama dampaknya dengan rencana reklamasi pantai yang salah perhitungan.
Bencana ekologi merupangan terminologi yang bermakna bencana alam yang disebabkan oleh perkembangan peradaban populasi manusia. Terminologi ini hadir dengan keyakinan bahwasanya peradaban manusia yang hadir atas dasar perkembangan ilmu pengetahuan yang meningkatkan natalitas rate dan menghambat mortalitas rate populasi manusia merupangan parasit bagi keseimbangan aliran energi dan keseimbangan biomas yang ada dalam ekosistem bumi. Peradaban manusia dipandang sebagai parasit atau penyerap keseimbangan karena peradaban manusia selalu digerakkan alat-alat produksi yang menuntut konsumsi energi dan melepaskan residu yang seharusnya tidak perlu ada dalam interaksi biotik dan abiotik di ekosistem bumi (Kasry, 2007).
Belum sempurnanya perkembangan peradaban manusia berakibat tidak terkontrolnya penyerapan energi dan pelepasan residu oleh alat produksi sehingga mengganggu keseimbangan biotik dan abiotik dalam ekosistem, Hal ini berdampak pada semakin dahsyatnya bencana alam baik dari sisi frekwensi maupun daya hancurnya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwasanya bencana ekologi juga menyebabkan bencana alam, dan bencana alam merupakan pemicu natalitas, mortalitas dan suksesi populasi tertentu. Bencana ekologi mempercepat proses tersebut terbukti dari munculnya dampak-dampak perubahan iklim.
Preposisi ini sesuai dengan fakta bahwasanya pemenuhan kebutuhan negara maju atas bahan baku kayu mendorong perusahaan di negara berhutan melakukan eksploitasi besar-besaran sehingga hutan digunduli dan lahan dibersihkan dengan cara membakar. Akhirnya emisi gas rumah kaca dari permukaan bumi menumpuk di atmosfer, terjadi pemanasan global yang berujung pada perubahan iklim yang selanjutnya menjadi pemicu kehadiran bencana alam yang tidak dapat diprediksi kehadirannya dan kedahsyatannya (Suryadiputra, et al., 2005)
2.2. Dampak perubahan iklim
Besarnya emisi gas dari aktivitas pembangunan populasi manusia di dunia menyebabkan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer bumi mengalami peningkatan drastis. Konsentrasi berlebih tersebut berakibat pada terperangkapnya energi panas matahari pada molekul gas rumah kaca yang seharusnya kembali terlepas dari atmosfer bumi. Terperangkapnya energi panas tersebut berakibat pada distribusi panas merata di ruang atmosfer yang diterminologikan sebagai fenomena pemanasan global. Fenomena ini dalam jangka panjang menyebabkan perubahan iklim di permukaan bumi.
Perubahan iklim mempengaruhi perubahan parameter fisika dan kimia dalam habitat sehingga berakibat pada perubahan prilaku populasi salah satu spesies, beberapa spesies maupun seluruh spesies dalam habitat. Perubahan prilaku ini berakibat pada ketidak seimbangan rantai makanan (Food chain) dalam jejaring makanan (Food web). Apalagi semua organisme yang berposisi sebagai konsumen dalam rantai makanan secara naluriah berupaya menjadi konsumen tingkat akhir dengan cara menghindar, bertahan dan menyerang sebagai strategi penyelamatan dirinya dari ancaman apapun.
Ketidak seimbangan rantai makanan disebabkan oleh perpindahan atau putusnya mata rantai makanan, dominasi perpindahan mata rantai makanan maupun putusnya mata rantai makanan dalam jejaring makanan menyebabkan pergeseran/perpindahan aliran energi dan aliran materi dalam habitat. Perebutan materi dan energi ini memicu pada akumulasi pergeseran komposisi parameter fisika dan kimia ideal dalam habitat tersebut. Akumulasi pergeseran komposisi parameter ini selanjutnya akan mempengaruhi perubahan fungsi-fungsi populasi dalam komunitas. Pada gilirannya, ekosistem pun mengalami evolusi menyesuaikan perubahan jalur rantai makanan dalam jejaring makanan, perubahan aliran energi dan materi, perubahan fungsi populasi dalam komunitas dan perubahan komposisi parameter fisika dan kimia dalam ekosistem.
Dalam situasi ini, maka tidak mustahil jika populasi manusia sebagai salah satu konsumen tingkat akhir dalam rantai makanan digantikan oleh populasi dominan dalam komunitas yang potensial berpindah-pindah mata rantai makanan. Atau populasi manusia akan menurun dikarenakan parameter fisika dan kimia pembentuk habitatnya berakumulasi secara acak sehingga tidak layak lagi menjadi habitat populasi manusia. Pada gilirannnya kuantitas dan kualitas populasi manusia menjadi kecil dalam komunitas tertentu hingga berpotensi menuju kepunahan dalam jangka waktu tertentu.
Oleh sebab itu, manusia perlu melakukan upaya mitigasi terhadap perubahan iklim agar parameter fisika dan kimia dalam habitat kembali wajar sehingga diikuti dengan kembali normalnya rantai makanan dalam jejaring makanan dan meletakkan kembali manusia sebagai konsumen tingkat akhir. Selain itu manusia perlu melakukan adaptasi terhadap perubahan iklim agar akumulasi perubahan parameter fisika dan kimia dalam habitat tidak berpengaruh nyata pada individu manusia dan populasi manusia secara langsung, atau beradaptasi agar pergeseran mata rantai makanan dalam jejaring makanan yang sulit dihindari ini tetap memposisikan manusia dan populasinya sebagai konsumen tingkat akhir sejajar dengan konsumen tingkat akhir lainnya dalam komunitas yang sama.
Berikut ini beberapa ilustrasi skenario perubahan iklim yang mempengaruhi perubahan rantai makanan dalam jejaring makanan dan mengancam kuantitas dan kualitas populasi manusia (Gambar 1).

Gambar 1. Ilustrasi skenario; perubahan parameter abiotik menghimpit populasi manusia (sumber: interpretasi penyusun)

Dari gambar 1. dapat dijalaskan penurunan kuantitas dan kualitas populasi manusia dengan asumsi skenario 1 sebagai berikut (interpretasi penyusun):
1) Peningkatan gas rumah kaca di atmosfer bumi menyebabkan terperangkapnya energi panas matahari pada molekul-melekul gas rumah kaca. Akumulasi panas pada setiap molekul ini menyebabkan ruang atmosfer mengalami peningkatan suhu yang merata mengelilingi bumi. Hal ini merupangan fenomena yang diterminologikan sebagai pemanasan global.
2) Pemanasan global ini menyebabkan bongkahan es di kutub mengalami pencairan sehingga volume air laut mengalami peningkatan sehingga volume air pada saat pasang dan surut mengalami rentang yang ekstrim pula. Pencairan es menjadi air diikuti perbedaan suhu yang ekstrim sehingga terbentuk pergolakan arus air di laut diikuti dengan pergeseran materi dan energi yang berlebih sehingga arah, kecepatan dan volume berubah-ubah baik pada badan air maupun permukaan air sehingga membentuk angin di permukaan laut sebagai residu energi gerak air di laut. Sementara di teresterial yang mengalami pemanasan berlebih menyebabkan pergeseran energi angin karena perbedaan panas ekstrim antara teresterial dan kostal. Hal ini merupakan fenomena angin darat. Pembentukan energi angin baru dari darat dan pembentukan energi angin laut mengalami benturan tambahan di atmosfer sehingga energi berupaya merubah bentuknya sebagai gejala-gejala alam yaitu; hembusan angin berlebihan hingga membentuk taufan, hujan berlebihan hingga membanjir, panas berlebihan hingga kekeringan, serta kegagalan-kegagalan pembentukan salju. Gejala-gejala tak teratur ini berakibat pada perubahan iklim di bumi. Pergeseran jadwal musim kemarau, musim dingin, musim hujan, musim salju dan musim semi.
3) Perubahan musim yang seharusnya teratur pada setiap ruang yang terpisah garis iklim (tropis, subtropis dan kutub) menyebabkan perubahan-perubahan pula pada ekosistem, komunitas dan habitat yaitu berupa rentang suhu ekstrim, Kuantitas dan kualitas air menurun, Komposisi udara pernafasan tidak wajar, Kompetisi ruang teresterial dan kostal
4) Perubahan parameter abiotik yang ekstrim menyebabkan ekosistem/komunitas/habitat tidak nyaman lagi dihuni oleh manusia sehingga hal tersebut berakibat pada penurunan kuantitas dan kualitas populasi manusia dengan tiga skenario;
• Daya tahan tubuh individu menurun barakibat pada penurunan produktivitas populasi
• Daya tahan tubuh menurun berakibat pada peningkatan mortalitas populasi
• Daya tahan tubuh menurun berakibat pada penurunan natalitas populasi
Demikian uraian skenario 1. Dan selanjutnya Skenario 2. diuraikan sebagai berikut.


Gambar 2. Ilustrasi scenario; perubahan rantai makanan menghimpit populasi manusia (Sumber: ilustrasi penyusun).

Dari Gambar 2. Dapat dijalaskan penurunan kuantitas dan kualitas populasi manusia dengan asumsi skenario 2 sebagai berikut:
1) Peningkatan gas rumah kaca di atmosfer bumi menyebabkan terperangkapnya energi panas matahari pada molekul-melekul gas rumah kaca. Akumulasi panas pada setiap molekul ini menyebabkan ruang atmosfer mengalami peningkatan suhu yang merata mengelilingi bumi. Hal ini merupangan fenomena yang diterminologikan sebagai pemanasan global.
2) Pemanasan global ini menyebabkan bongkahan es di kutub mengalami pencairan sehingga volume air laut mengalami peningkatan sehingga volume air pada saat pasang dan surut mengalami rentang yang ekstrim pula. Pencairan es menjadi air diikuti perbedaan suhu yang ekstrim sehingga terbentuk pergolakan arus air di laut diikuti dengan pergeseran materi dan energi yang berlebih sehingga arah, kecepatan dan volume berubah-ubah baik pada badan air maupun permukaan air sehingga membentuk angin di permukaan laut sebagai residu energi gerak air di laut. Sementara di teresterial yang mengalami pemanasan berlebih menyebabkan pergeseran energi angin karena perbedaan panas ekstrim antara teresterial dan kostal. Hal ini merupakan fenomena angin darat. Pembentukan energi angin baru dari darat dan pembentukan energi angin laut mengalami benturan tambahan di atmosfer sehingga energi berupaya merubah bentuknya sebagai gejala-gejala alam yaitu; hembusan angin berlebihan hingga membentuk taufan, hujan berlebihan hingga membanjir, panas berlebihan hingga kekeringan, serta kegagalan-kegagalan pembentukan salju. Gejala-gejala tak teratur ini berakibat pada perubahan iklim di bumi. Pergeseran jadwal musim kemarau, musim dingin, musim hujan, musim salju dan musim semi.
3) Perubahan musim yang seharusnya teratur pada setiap ruang yang terpisah garis iklim (tropis, subtropis dan kutub) menyebabkan perubahan-perubahan pula pada ekosistem, komunitas dan habitat yaitu berupa rentang suhu ekstrim, Kuantitas dan kualitas air menurun, Komposisi udara pernafasan tidak wajar, Kompetisi ruang teresterial dan kostal
4) Perubahan parameter abiotik yang ekstrim menyebabkan ekosistem/komunitas/habitat tidak nyaman lagi dihuni oleh populasi berbagai spesies organism sehingga hal tersebut berakibat pada terpicunya naluri berbagai populasi untuk mempertahankan kelangsungan populasinya dengan cara beradaptasi terhadap kondisi lingkungan dan meninggalkan kepatutannya dalam rantai makanan dan jejaring makanan dengan skenario sebagai berikut;
• Populasi-populasi dalam rantai makanan mono to mono (satu mangsa satu pemangsa), mengalami punah/hilang dalam habitat secara perlahan. Punah karena tidak ada yang dimangsa
• Populasi-populasi dalam rantai makanan mono to multy (satu mangsa banyak pemangsa), mengalami punah/hilang dalam habitat secara cepat. Punah karena tidak ada yang dimangsa dan beragam yang memangsa.
• Populasi-populasi dalam rantai makanan multi to mono (banyak mangsa satu pemangsa), mengalami peningkatan populasi. Meningkat karena masih beragam yang dimangsa dan sedikit yang memangsa.
• Populasi-populasi dalam rantai makanan multy to multy (banyak mangsa banyak pemangsa), mengalami keseimbangan populasi. Seimbang karena masih beragam yang dimangsa dan beragam yang memangsa.
Dengan demikian, populasi organisme yang menjalankan kepatutan rantai makanan multy to mono akan mengancam keseimbangan populasi manusia. Oleh sebab itu, manusia sebagai mahluk yang mampu berpikir, seharusnya melakukan upaya mitigasi dan adaptasi agar keseimbangan biotik dan abiotik dalam habitat dapat pulih kembali.
Lemahnya atau gagal berfungsinya sel darah putih manusia disebabkan oleh menurunnya kuantitas dan kualitas asupan air, kuantitas dan kualitas pangan, kuantitas dan kualitas udara pernafasan dan kuantitas dan kualitas habitat sehingga dapat mengakibatkan kematian individu dalam populasi sehingga mortalitas rate semakin meningkat. Bahkan dapat menyebabkan kegagalan fungsi reproduksi yang berakibat pada natalitas rate populasi semakin menurun. Jika natalitas rate rendah, mortalitas rate rendah maka populasi renggang dan anggota populasi jarang berganti. Jika natalitas rate tinggi, mortalitas rate tinggi maka populasi padat dan anggota populasi sering berganti. Jika natalitas rate rendah, mortalitas rate tinggi maka populasi renggang dan anggota populasi menghilang sehingga gagal regenerasi. Situasi terakhir ini merupangan fenomena punah, populasi menghilang dalam komunitas. Ini merupangan dampak perubahan iklim yang paling parah yang seharusnya hanya berlaku saat kiamat tiba.
Preposisi ini didukung sebuah contoh; Lahan gambut yang terbakar, mengalami kesulitan untuk pulih karena miskin unsur hara dan air. Sehingga hanya terjadi suksesi spesies tertentu dan sangat lama diikuti kehadiran organisme lainnya. Habitat mengalami dominasi populasi tertentu saja (Wibisono, Siboro, dan Suryadiputra, 2005)
Penurunan kuantitas dan kualitas air, pangan, udara dan ruang hidup dalam komunitas disebabkan oleh kompetisi antar komunitas karena kebutuhan anggota ragam populasi dalam komunitas semakin meningkat, berakibat pada hilangnya komunitas tertentu dalam ekosistem. Kompetisi antar populasi dalam komunitas berakibat pada hilangnya populasi tertentu dalam komunitas. Kompetisi antar individu dalam populasi berakibat pada hilangnya individu tertentu dalam populasi. Kausalitas tersebut merupangan fenomena alamiah dalam keseimbangan ekosistem.
Konsep keytone species yang diperkenalkan pertama sekali pada tahun 1969 oleh Profesor Robert T. Paine seorang zoology mendiskripsikan; keberadaan suatu spesies yang berperan penting membangun tingkat keragaman anggota komunitas menuju keseragaman jenis atau menuju keberagaman jenis (Kasry, 2007). Keytone spesies predator jika spesies ini tergolong organisme heterotropik polyphagus maupun monophagus yang berfungsi menurunkan ledakan populasi spesies tertentu dan berdampak meningkatnya ledakan populasi spesies lain pula sehingga rantai makanan dalam jejaring makanan mengalami dinamika yang besar. Dan jika keytone spesies adalah organisme autotropik ia akan memusnahkan populasi autotropik lainnya dengan cara perebutan ruang dan makanan yang diterpa sinar matahari sehingga berdampak pada kepunahan pada organisme tropik tingkat dua yang monophagus dan peledakan organisme tingkat dua yang polyphagus atau monophagus yang bersimbiosis dengan keytone spesies
Keytone spesies tersebut kehadirannya menjadi terpaksa karena dipicu oleh rangkaian kejadian abiotik sebagai berikut; kecepatan abrasi pantai meningkat drastis, Ombak laut semakin tinggi, jadwal pasang-surut tidak dapat diprediksi, angin laut dan angin darat bertiup tidak seimbang hingga membentuk badai. Biota laut mengalami perubahan prilaku mengikuti perubahan suhu air dan arah gerak air dan diperkirakan mempercepat proses perubahan zat kimia air laut sebelum waktunya. Intrusi air laut meningkat karena hutan mangrove dan lahan gambut tak mampu menahan desakan air laut ke daratan, lahan gambut kehilangan daya serap air karena telah dipenuhi garam.
Hal ini didukung oleh uraian Kasry (2007) yang mencontohkan, naiknya suhu air laut menyebabkan ledakan populasi bintang laut (Pisasater ochraceous) yang memusnahkan koloni terumbu karang karena mengkonsumsi koloni terumbu karang secara berlebihan. Selanjutnya terjadi cascade effect, yaitu hilangnya populasi lain yang bersimbiosis dengan koloni terumbu karang. cascade effect juga terjadi kerana fenomena bleaching (kematian koloni terumbu karang karena habitatnya sudah tidak ideal).
Perbedaan suhu yang ekstrim antara lautan dan daratan, antara daratan satu dengan lainnya bahkan antar kawasan perairan berdampak pada kecepatan dan arah tiupan angin yang selalu berubah sehingga siklus hidrologi tidak teratur menyebabkan frekwensi dan curah hujan tidak wajar di banyak tempat. Akibatnya banjir dan kekeringan bisa terjadi dalam kurun waktu relatif berdekatan. Perbedaan suhu ekstrim ini juga memicu munculnya angin ribut di berbagai tempat yang memporak-porandakan infrastruktur bahkan hingga menelan korban jiwa manusia dan organisme lainnya. Banjir, kekeringan, angin ribut dan kegagalan produksi komunitas, memicu ketidak layakan habitat, sehingga tercapai situasi kepunahan populasi hingga mengganggu stabilitas rantai makanan dan jejaring makanan. Dan pada akhirnya akan tercapai situasi kematian individu dalam populasi tanpa kompetisi. Bumi akan mengalami suksesi oleh organisme autotropik toleransi tinggi untuk memperbaiki kembali atmosfer dalam jangka waktu yang sangat lama hingga muncul kehidupan baru ditandai dengan hadirnya organisme heterotropik tingkat pertama, kedua dan seterusnya.
Situasi ini digambarkan oleh Diposaptono (2008) bahwa tragedi Tsunami tahun 2005 menelan korban jiwa lebih dari 200.000 orang hanya di Nangro Aceh Darusalam, Indonesia. Sedangkan menurut Jeremy Turner, Kepala Pelayanan Teknologi Perikanan PBB, FAO, bahwa Tsunami yang menghantam 7 negara pesisir di dunia yang diperkirakan oleh Pusat Informasi PBB, UNIC, mengalami kerugian sebesar USD 500 juta, termasuk di dalamnya perhitungan; 111 ribu kapal hancur dan rusak, 36 ribu mesin hilang dan 1,7 juta unit peralatan penangkapan ikan rusak. Ini sebuah gambaran proses pembantaian populasi manusia oleh bencana alam non bencana ekologi. Bayangkan kalau keduanya terjadi berbarengan. Sebagai ilustrasi tambahan; bila Tsunami terjadi di teluk Jakarta sementara hujan terjadi di Bogor, maka Jakarta akan mengalami penurunan populasi manusia dalam waktu yang sangat singkat.

III. ALIRAN MATERI DAN ENERGI DALAM EKOSISTEM BUMI
Keseimbangan bumi bergantung pada interaksi tiga zat penting yaitu; zat padat, zat cair dan gas. Pada dasarnya, ketiga zat atau materi ini kondisi hakikinya adalah diam. Namun karena semua materi menyimpan energi potensial atas keberadaan energi gravitasi bumi maka semua materi berpotensi untuk tidak diam. Jika ada sedikit usikan yang lebih besar dari kondisi diamnya maka materi dalam kondisi bergerak dan berusaha untuk kembali diam. Usaha kembali diam inilah yang menyebabkan lepasnya selisih energi, lepasan ini sesegera mungkin menaungi materi lain yang juga dalam kondisi diam. Namun jika materi tidak mampu melepaskan energi yang menaunginya maka alternative peristiwanya adalah materi akan berubah wujud hingga keseimbangan energi untuk diam kembali tercapai. Menurut uraian Kasry (2007), pada ekosistem dapat terjadi perubahan wujud zat yaitu; 1) padat menjadi cair, 2) padat menjadi gas, 3) padat menjadi padatan lain, 4) cair manjadi padat, 5) cair menjadi gas, 6) cair menjadi cairan lain, 7) gas menjadi padat, 8) gas menjadi cair, 9) gas menjadi gas lain. Perubahan wujud ini selalu dibarengi dengan aliran energi dan dispersi energi menjadi panas yang dilepas sebagai upaya mencapai keseimbangan materi.
Kondisi diam dan kondisi bergerak atau berubah suatu materi dipengaruhi atas keberadaan tiga basis energi yaitu; energi stagnasi, energi potensial dan energi kinetik. Energi stagnasi adalah energi yang manaungi sehingga materi dalam kondisi keseimbangan hakiki untuk diam. Energi potensial adalah energi tertoleransi oleh materi dalam kondisi diam dan jika terusik oleh energi kinetik maka energi potensial akan terlepas meninggalkan materi tersebut hingga tercapai situasi energi stagnasi dalam materi. Energi kinetik adalah energi potensial yang bergerak berpindah ke materi lain hingga materi yang diterpa energi tersebut mencapai keseimbangan baru menuju diam baik dinaungi hanya oleh energi stagnasi maupun bersama energi potensial.
Menurut uraian Azam (2008), air memiliki beberapa sifat yaitu mencari tempat yang lebih rendah dan memenuhi ruang setangkup dengan bentuk ruang yang tersedia, sifat ini dipengaruhi oleh gaya gravitasi bumi. Air tersebut dinaungi gaya potensial gravitasi bumi. Pada malam hari saat bulan tepat tegak lurus dengan air di laut, energi potensial gravitasi bumi dalam volume air tersebut diusik oleh energi potensial gravitasi bulan sehingga terbentuk energi kinetik yang mampu memindahkan volume air tidak berada pada tempat yang lebih rendah. Karena bulan terus berevolusi mengakibatkan penurunan energi mengikuti vektor gaya tarik bumi-bulan. Saat energi potensial bulan tidak unggul lagi maka air bergerak mundur ke titik awal namun membawa kelebihan energi sehingga terjadi benturan dengan entitas lain dibelakangnya. Air bergerak mondar-mandir hingga energi terserap oleh entitas lain dan air kembali diam.
Hukum termodinamika 1 yang menyatakan energi tidak dapat punah melainkan berubah bentuk, dapat dipertahankan kesahihannya karena bumi memang tidak pernah kehabisan energi atau dalam kondisi selalu memiliki energi potensial, tidak terjadi kondisi energi stagnasi. Hal ini disebabkan oleh sistem tata surya yang memberikan reaksi berantai (chain reaction) sebagai berikut; Energi nuklir dalam matahari menghasilkan panas sehingga mendorong planet bumi dan planet lainnya menjauh dari matahari, di belakang bumi terdapat ruang hampa yang memaksa bumi dan planet lainnya mendekati matahari. Seluruh planet karena dikenai gaya dorong dari dua sisi menyebabkan planet-planet mengitari matahari (revoluasi) dalam orbitnya, kondisi menggelinding pada ruang hampa menyebabkan planet-planet berotasi, fenomena inipun menjelaskan mengapa planet-planet cenderung berbentuk bulat pejal. Kondisi berevoluasi dan berotasi inilah yang menjadi generator energi dalam bumi dan atmosfer. Dengan demikian bumi selalu memiliki energi kinetik abadi yang selalu mengusik materi-materi dalam bumi dan membentuk gaya gravitasi bumi sebagai energi potensial yang tercipta oleh vektor energi potensial yang terbentuk dari energi kinetik revolusi bumi dan rotasi bumi.
Menurut Haryanto (2007), gaya tarik matahari terhadap benda langit di sekitarnya dan gaya tolak benda langit terhadap matahari menyebabkan terbentuknya vector elips yang menjadi lintasan benda-benda tersebut mengelilingi matahari. Ada saatnya matahari dan benda planet yang mengitarinya berada berdekatan dan ada saatnya berjauhan. Perubahan jarak ini disertai dengan perubahan kecepatan perubahan massa benda pada kondisi tertentu sehingga tercapai siutasi dimana yang berubah-ubah hanya energi potensial ke energi kinetik silih berganti pada massa benda yang sama.
Siklus energi kinetik inilah yang membangun fenomena alam, dimana materi berpotensi bergerak vertikal karena keberadaan gaya gravitasi bumi, dan tidak ada gerak horizontal karena tidak terjadi rotasi bumi relatif terhadap atmosfer. Gerak horizontal materi di bumi, hakiknya didapat dari dispersi distribusi energi panas yang tidak merata di atmosfer dan permukaan bumi. Panas sebagai energi potensial yang dibawa oleh sinar matahari diserap oleh materi-materi berdaya serap berbeda sehingga muncul perbedaan suhu dari satu materi dengan materi lain. Perbedaan suhu inilah yang mengakibatkan perpindahan energi dalam bentuk angin yang bergerak horizontal dan mengakibatkan materi bergerak horizontal pula karena dinaungi energi kinetik dan didesak oleh gaya gravitasi hingga mempercepat proses tercapainya keseimbangan materi untuk kembali diam karena tercapai kondisi dinaungi energi stagnasi dan atau energi potensial.
Preposisi ini dapat dicontohkan dengan fenomena umum yaitu; pada siang hari teresterial bersuhu lebih panas dan bertekanan udara rendah dibandingkan perairan sehingga angin berhembus dari perairan menuju darat. Sedangkan pada malam hari saat perairan belum sempurna mengalami penurunan suhu sedangkan teresterial telah mengalami pendinginan dan tekanan udara meningkat, maka angin berhembus menuju perairan. Fenomena ini dimanfaatkan oleh kapal-kapal tradisional yang masih menggunakan layar untuk memanfaatkan arah gerak angin (Murdiyanto, 2004).
Cahaya merupangan media transfer energi panas yang menjadi pilihan pertama dan pilihan terakhir oleh energi panas saat melakukan rambatan energi ke materi lain. Energi potensial gravitasi berkecenderungan mendorong materi untuk terlingkupi energi stagnasi, sedangkan energi panas berkecenderungan mendorong materi untuk terlingkupi energi kinetik. Cahaya matahari menyinari bumi membawa energi panas dari reaksi nuklir di matahari. Kehadiran cahaya beserta energi panas ini menciptakan reaksi berantai (chain reaction) yang mendukung kehidupan di bumi sebagai berikut; Lapisan ozon adalah lapisan di atmosfir pada ketinggian 19-48 km (12-30 mil) di atas permukaan Bumi yang mengandung molekul-molekul Ozon. Konsentrasi di lapisan ini mencapai 10 ppm dan berbentuk akibat pengaruh sinar Ultraviolet Matahari terhadap molekul-molekul oksigen. Peristiwa ini terjadi semenjak berjuta-juta tahun yang lalu, tetapi campuran molekul-molekul nitrogen yang muncul di atmosfer menjaga konsentrasi ozon relatif stabil. Ozon adalah gas beracun sehingga bila berada dekat permukaan tanah akan berbahaya bila terhisap dan dapat merusak paru-paru. Sebaliknya, lapisan ozon di atmosfer melindungi kehidupan di Bumi karena ia melindunginya dari radiasi sinar ultraviolet yang dapat menyebabkan kanker djwie.wordpress.com/2008/11/24/lapisan-ozon.
Gas rumah kaca di atmosfer bumi menyaring cahaya dan panas agar tidak seluruhnya ke permukaan bumi, penyaringan dilakukan dengan dua cara yaitu; menyerap dan memantulkan kembali ke ruang angkasa. Penyerapan berakibat pada penghangatan atmosfer bumi dan pemantulan cahaya ultra violet ke angkasa oleh lapisan ozon berakibat pada penghindaran dari tingginya suhu dan kecerahan berlebih di bumi situasi ini menciptakan habitat menjadi layak bagi kehidupan di bumi. Cahaya yang diteruskan ke bumi, dimanfaatkan organisme autotropik untuk memproduksi karbohidrat dalam biomas, menyimpan energi potensial dan memproduksi oksigen untuk udara. Dalam proses produksi ini, organisme autoropik menyerap CO2 dan H2O. Dengan demikian melalui proses fotosintesis organisme autotropik dalam reaksi berantai tersebut otomatis membangun keseimbangan konsentasi air di bumi dan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer. Selain itu juga organisme outotropik ini menyiapkan dirinya menjadi bagian dari rantai konsumsi bagi organisme heterotropik.
Preposisi ini menjadi logis karena pada kenyataanya ekosistem bumi dalam membangun keseimbangan biotik dan abiotiknya selalu berupaya menjamin berputarnnya siklus carbon, siklus hydrogen dan siklus oksigen dalam biomas tingkat produsen, biomas tingkat konsumen dan biomas tingkat detritus. Dan Organisme autotrop yang kita sebut produsen adalah komponen biotic yang mampu merubah cahaya menjadi energi potensial bagi heterotrop, menyeimbangkan CO2 dan O2 di udara, Menyeimbangkan rantai karbon dan H2O dalam biomas dan tanah. (Kasry, 2007).
Keberadaan revolusi dan rotasi bumi serta cahaya matahari dan energi panasnya membangun efek berantai yaitu gerak vertikal dan horizontal bagi unsur abiotik di bumi serta aliran energi pendukung kehidupan unsur biotik. Sehingga di ekosistem bumi terdapat gejala-gelaja alam sebagai akibat dari proses pencapaian keseimbangan energi yaitu; pergerakan air, pergerakan udara, pergerakan tanah/lempengan dan fluktuasi kualitas/kuantitas biomas. Dan bencana alam seperti, banjir, kekeringan, longsor dan angin ribut merupangan gejala-gejala alam dalam rangka mencapai keseimbangan ekosistem. Namun jika gejala-gejala ini muncul berlebihan dan tidak wajar maka dapat diprediksi sebagai bencana ekologi.
Preposisi ini sesuai dengan ulasan bahwasanya Gempa dan Tsunami di Indonesia, Thailand, India, Maladewa, Myanmar, Somalia dan Srilanka pada tahun 2005 dan diikuti bencana yang sama pada tahun 2006 dan 2007 di tempat lainnya adalah bencana alam yang memporak porandakan wilayah pesisir. Namun dampak bencana alam semakin meluas dikarenakan pembangunan berlebihan di kawasan pesisir yang tidak mempertimbangkan daya dukung, daya tampung dan daya tahan terhadap bencana. Semakin meluasnya dampak bencana alam tersebut dipicu oleh gejala-gejala bencana ekologi yang terlanjur terbentuk oleh ulah manusia sendiri tanpa disadari (Diposaptono, 2008).

IV. UPAYA MITIGASI DAN ADAPTASI TERHADAP PERUBAHAN IKLIM

Meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer disebabkan oleh perkembangan peradaban manusia yang mendorong penggunaan alat-alat produksi dan pembukaan lahan pertanian yang menghasilkan residu berupa gas-gas rumah kaca, utamanya karbon dioksida CO2. Pemanfaatan lahan pertanian dan peternakan meresidu metana (NH4) dan nitrogen oksida (N2O). Penggunaan produk-produk aerosol, freezer dan air conditioner yang meresidu hydrofluorocarbons (HFCs). Pelepasan gas ini melebihi ambang batas sehingga kepadatan gas meningkat di atmosfer.
Disebut gas rumah kaca karena gas ini beranalogi dengan sifat ruang kaca yang menyerap panas dan memantulkan cahaya. Oleh sebab itu peningkatan konsentrasi ini merubah atmosfer yang bersuhu hangat menjadi bersuhu panas. Sehingga pemanasan merata di atmosfer diterminologikan sebagai pemanasan global (Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, 2008).
Pemanasan global menyebabkan pencairan es di kutub bumi. Sejatinya, kutub bumi merupakan salah satu alat penyeimbang suhu air laut dan suhu udara di biosfer. Namun karena pemanasan global fungsi es kutub menjadi menurun bahkan menjadi penyebab meningkatnya permukaan air laut karena volume air secara global meningkat (Meiviana, Sulistiowati, dan Soejachmoen, 2004).
Selanjutnya Meiviana at al (2004) menguraikan, peningkatan volume air di bumi menjadi penyebab kompetisi ruang oleh tiga materi utama bumi yaitu perairan, daratan dan udara karena dua entitas berikutnya mengalami pemuaian oleh pemanasan global. Hal inilah yang memicu terjadinya perubahan iklim. Fenomena ini selanjutnya diikuti perebutan ruang oleh materi lainnya baik biotic maupun abiotik. Dan secara alami terjadi juga perebutan energi biomas dalam peristiwa jejaring makanan dikarenakan perubahan prilaku entitas biotik. Sehingga terjadi dominasi populasi yang diikuti ancaman pemunahan populasi organisme. Keseimbangan ekologi terganggu, terjadi bencana alam dan bencana ekologi yang berkausalitas timbal-balik. Keseimbangan populasi manusia turut terancam jika tidak melakukan mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim.
Kelebihan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer sebagai pemicu dari pemanasan global hingga kompetisi biotik dan abiotik dalam habitat. Sehingga masyarakat dunia yang terepresentasi dalam Organisasi Perserikatan Bangsa-bangsa sejak tahun 1992 hingga saat ini terus menegosiasikan strategi mitigasi dan adaptasi terhadap dampak perubahan iklim (Ginoga, et al, 2008)
Mitigasi dalam kontek penanggulangan perubahan iklim adalah upaya penurunan konsentrasi gas rumah kaca. Tiga cara yang hingga saat ini terformulasi yaitu; 1) Menyerap gas rumah kaca dengan cara memanfaatkan fisiologi tumbuhan berklorofil yang menyerap CO2 saat memproduksi zat pati, tersimpan dalam biomas, melepaskan O2 dan menyerap H2O dari tanah melalui fungsi akar. 2) Menimbun gas rumah kaca dalam biomas dan tanah dengan cara mengkonservasi atau penundaan pemanfaatan. 3) Mengurangi pelepasan gas rumah kaca dengan cara menggunakan bahan bakar alternative, menggunakan energi alternative dan hingga meniadakan penggunaan bahan bakar konvensional sebagai energi. Sedangkan adaptasi dalam kontek penanggulangan perubahan iklim adalah strategi penyesuaian diri manusia terhadap dampak yang muncul dari perubahan iklim yaitu; bencana alam, bencana ekologi. Tiga adaptasi yang harus dipersiapkan yaitu; adaptasi peradaban, adaptasi kepribadian, adaptasi fisiologi dan adaptasi genetic (Rufi'i, 2008).
Adaptasi peradaban adalah upaya adaptasi dengan cara membangun pengetahuan etika dan estetika sehingga infrastruktur peradaban, interaksi social-ekonomi-budaya-politik yang terbangun dimasa mendatang dapat mengantisipasi ketidak pastian bencana alam dan bencana ekologi. Pembangunan pengetahuan etika dan estetika tersebut diarahkan menuju perlindungan terhadap keseimbangan populasi manusia di bumi. Oleh sebab itu peradaban adaptasi, dengan keterbatasan kuantitas dan kualitas air, udara dan daratan, akan menuju pada upaya efisiensi dan efektifitas pemanfaatan sumberdaya tersebut.
Adaptasi peradaban manusia di dunia terhadap perubahan iklim di mulai sejak tahun 1992, dalam acara KTT Bumi di Rio De Janeiro menyepakati dibentuknya UNFCCC. Sejak saat itu, setiap tahunnya negara-negara berkumpul untuk menegosiasikan upaya mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim. Protokol Kyoto yang di tandatangani pada pertemuan ke 3 yang disebut Conference of parties (COP3-1995 di Jepang) merupakan babak baru adaptasi peradaban yang ditandai dengan perubahan kebijakan pengembangan industri yang lebih efisien dalam mengemisi gas buang yang membahayakan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer (Meiviana, et al, 2004)
Adaptasi kepribadian adalah upaya adaptasi individu manusia dalam rangka menyesuaikan diri terhadap lingkungan hidupnya yang baru yaitu; suhu udara yang ekstrim, bencana yang silih berganti hadir, keterbatasan asupan air, udara dan pangan serta keharusan untuk efiensi energi dan emisi. Situasi ini akan membangun kepribadian baru yang terlihat dari tata cara berpakaian, tatacara mencari nafkah, tatacara berinteraksi, tatacara berkonsumsi, tatacara menyelamatkan diri dan tatacara lainnya yang membentuk kepribadian manusia unggul yang memiliki survival rate tinggi.
Setiap rumah tangga dalam berpartisipasi menghadapi perubahan sebaiknya melakukan penghematan penggunaan energi seperti; berkonsumsi minus emsi, bermobilisasi minus emisi, berekreasi minus emisi, bekerja minus emisi serta harus mempersiapkan diri agar selalu menjaga kesehatan dan memiliki kemampuan menyelamatkan diri dari berbagai bencana (Meiviana, et al, 2004).
Adaptasi fisiologi adalah upaya adaptasi organ tubuh manusia dalam rangka menyesuikan kondisi lingkungan yang penuh bencana, penurunan kualitas dan kuantitas air, udara dan pangan. Sehingga survival rate manusia secara biologis cukup tinggi. Selain itu dalam jangka panjang akan terjadi adaptasi genetik dengan skenario; akan lahir bayi-bayi manusia yang memiliki fisik dan fungsi organ tubuh menyesuaikan habitat baru yang penuh dengan keterbatasan air, udara dan pangan serta dipenuhi bencana.
Pada kenyataannya ada perbedaan fisiologi dan morfologi manusia dilihat dari dispersi populasi secara vertikal dari wilayah pantai hingga wilayah pegunungan, manusia habitat pegunungan karena tekanan udara dan minimnya ketersediaan oksigen, paru-parunya beradaptasi hingga efisien memanfaatkan udara untuk metabolisma dengan demikian kemampuan darah sebagai alat transportasi juga turut beradaptasi. Sedangkan dispersi populasi secara horizontal dari wilayah iklim tropis, temperet hingga kutub, terjadi adaptasi mofologis yaitu ukuran fisik tubuh dan sensitifitas kulitnya beradaptasi dengan suhu pada iklim yang berlaku di habitat tersebut walaupun sebagai satu spesies ataupun varietasnya, terlepas dari perdebatan tentang kebenaran teori darwin (Kasry, 2007).

V. PENYIAPAN MODEL MANUSIA UNGGUL

Semua pemerintahan negara-negara di dunia baik yang telah meratifikasi Protocol Kyoto maupun yang belum seperti dua negara adidaya Amerika Serikat dan Australia, telah menyadari dampak perubahan iklim sehingga dengan atau tanpa target Protocol Kyoto, semua harus melakukan mitigasi dan adaptasi demi keselamatan negara dan rakyatnya. Namun apakah jika pemerintahan negara telah melakukannya maka rakyatnya ototamis selamat? Bisa ya jika sistem mitigasi dan adaptasi yang dipersiapkan memang cukup sempurna. Jika tidak, maka populasi manusia di negara tersebut tetap dalam ancaman bencana yang serius. Oleh sebab itu perlu dipersiapkan upaya mitigasi dan adaptasi personal sehingga setiap individu manusia memang mampu berpartisipasi dalam penurunan konsentrasi gas rumah kaca dan beradaptasi pada situasi keterlanjuran terancam bencana.
Untuk masa datang perlu dipersiapkan model manusia unggul yang mampu melakukan dua hal tersebut sehingga populasi manusia survival di muka bumi dalam kondisi habitat yang kurang nyaman.
Model adalah prototype, figure, character, performance suatu sabjek, suatu predikat, maupun suatu objek yang diduplikasi mendekati situasi kondisi aslinya. Permodelan yang umum dilakukan hingga dewasa ini yaitu permodelan fisik dengan skala lebih besar maupun lebih kecil, contohnya sel yang berukuran mikroskopik harus dimodelkan lebih besar hingga kasat mata dan atau kasat raba. Sedang benda antariksa biasanya dimodelkan lebih kecil agar kasat raba. Permodelan yang lebih modern adalah model matematika yang bisa diproyeksikan dengan teknologi computer sehingga skala model lebih beragam sesuai kebutuhan. Seperti yang tertera pada http://id.wikipedia.org/wiki/Model, Model adalah rencana, representasi, atau deskripsi yang menjelaskan suatu objek, sistem, atau konsep, yang seringkali berupa penyederhanaan atau idealisasi. Bentuknya dapat berupa model fisik (maket, bentuk prototipe), model citra (gambar rancangan, citra komputer), atau rumusan matematis.
Penyusunan model selalu diawali dengan menyusun variabel-variabel dari parameter yang ada pada sabjek/predikat/objek yang akan dimodelkan. Parameter tersebut bisa merupakan parameter hasil interpolasi maupun hasil ekstrapolasi. Dalam tulisan ini parameter tersebut diterminologikan sebagai kriteria dan syarat kriteria diterminologikan sebagai indikator. Selanjutnya dalam penyusunan model, dilakukan akumulasi criteria. Berikut ini adalah kriteria dan indikator yang ditawarkan dalam tulisan ini untuk penyusunan model manusia unggul (Tabel 1).

Tabel 1. Kriteria dan indikator kepribadian manusia unggul
Kriteria Indikator
Kepribadian 1. Berkemampuan menyelamatkan diri dari bencana
Kepribadian 2. Memotivasi orang lain untuk membangun kemampuan menyelamatkan diri
Kepribadian 3. Berkemampuan menyelamatkan orang lain dari bencana
Kepribadian 4. Berprilaku menurunkan atau meniadakan emisi dalam penggunaan pesawat sederhana
Kepribadian 5. Memotivasi orang lain untuk menurunkan atau meniadakan emisi dalam penggunaan pesawat sederhana

Dari Tabel 1. tersebut terlihat bahwa criteria yang ditawarkan ada 5 yaitu kepribadian 1, 2, 3, 4 dan 5, masing-masing kriteria memiliki indikator tersendiri dengan batasan yang tegas. Selanjutnya dari tabel kriteria dan indikator, disusun model dengan cara melakukan komulasi bertingkat dan hasilnya adalah seperti berikut ini.
Tabel 2. Kriteria dan indikator penyusunan model manusia unggul

Model Variabel
Model 1. 1) Berkemampuan menyelamatkan diri dari bencana

Model 2. 1) Berkemampuan menyelamatkan diri dari bencana
2) Memotivasi orang lain untuk membangun kemampuan menyelamatkan diri

Model 3. 1)Berkemampuan menyelamatkan diri dari bencana
2)Memotivasi orang lain untuk membangun kemampuan menyelamatkan diri
3)Berkemampuan menyelamatkan orang lain dari bencana

Model 4. 1)Berkemampuan menyelamatkan diri dari bencana
2)Memotivasi orang lain untuk membangun kemampuan menyelamatkan diri
3)Berkemampuan menyelamatkan orang lain dari bencana
4)Berprilaku menurunkan atau meniadakan emisi dalam penggunaan pesawat sederhana
Model 5. 1)Berkemampuan menyelamatkan diri dari bencana
2)Memotivasi orang lain untuk membangun kemampuan menyelamatkan diri
3)Berkemampuan menyelamatkan orang lain dari bencana
4)Berprilaku menurunkan atau meniadakan emisi dalam penggunaan pesawat sederhana
5)Memotivasi orang lain untuk menurunkan atau meniadakan emisi dalam penggunaan pesawat sederhana

Dari tabel 2. tersebut terlihat lima model manusia unggul yang berurut dan menggambarkan tingkat kualitas model manusia dalam rangka mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim. Pengembangan model ini memiliki asumsi yang disusun dalam bentuk kausalitas sebagai berikut:

1) Jika model 1. Lebih berkembang dalam populasi maka yang bukan model 1. Akan musnah dalam bencana
2) Jika model 2. Lebih berkembang dalam populasi maka yang bukan model 1. Akan kecil peluang musnah dalam bencana
3) Jika model 3. Lebih berkembang dalam populasi maka yang bukan model 1. Akan besar peluang selamat dari bencana
4) Jika model 4. Lebih berkembang dalam populasi maka yang bukan model 1. Akan besar peluang selamat dari bencana dan terjadi proses mitigasi tingkat lokal
5) Jika model 5. Lebih berkembang dalam populasi maka yang bukan model 1. Akan besar peluang selamat dari bencana dan terjadi proses mitigasi tingkat regional
Demikian model ini disusun sebagai landasan berpikir penyusunan proposal penelitian di masa mendatang oleh pihak yang tertarik melakukan alternatif dalam upaya mengahadapi dampak perubahan iklim sebagai antisipasi jika pada kenyataannya target penurunan emisi yang ditetapkan dalam Protokol Kyoto tidak bisa dicapai oleh negara-negara partisipannya sehingga pada Converence Of Parties ke 18 tahun 2012 (COP 18-UNFCCC, 2012) perlu disusun agenda alternative yaitu upaya mitigasi dan adaptasi oleh individu manusia, sehingga konsep perdagangan karbon akan memberlakukan skema sertifikasi manusia unggul yang berpartisipasi dalam rangka penurunan konsentasi gas rumah kaca.



DAFTAR PUSTAKA

Azam. 2008. Akrab dengan dunia IPA. Serangkai Pustaka Mandiri, Solo.
Ginoga, K. L, A. N. Ginting, dan A. Wibowo, (Eds). 2008. Isu pemanasan Global, UNFCCC, Kyoto Protokol dan Peluang Aplikasi A/R CDM. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Jakarta.
Diposaptono, S. 2008. Hidup Akrab dengan Gempa dan Tsunami., Sarana Komunikasi Utama, Bogor.
HYPERLINK "http://djwie.wordpress.com/2008/11/24/lapisan-ozon/" djwie.wordpress.com/2008/11/24/lapisan-ozon . 28-06.2009
Haryanto. 2007. Sains untuk Sekolah Sasar Kelas V. Gelora Aksara Pratama, Jakarta.
Kasry, A. 2007. Dasar-Dasar Ekologi dan Lingkungan Hidup untuk Sains Ilmu Lingkungan. Ekologi dan Lingkungan Hidup. Laboratorium Ekologi Perairan, Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Riau, Pekanbaru.
Kasry, A. 2009a. Dampak Pemanasan Global Terhadap Perubahan Iklim. Peringatan Hari Lingkungan Hidup Se Dunia Tahun 2009 tanggal 18 Juni 2009 (p. 9). Badan Pengendalian Dampak Lingkungan, Pemda Kabupaten Rokan Hilir, Bagan Siapi-api.
Kasry, A. 2009b. Menyelamatkan Ekosistem Bumi. Riau Pos. Pekanbaru,
Meiviana, A., Sulistiowati, D. R., dan Soejachmoen, M. H. 2004. Bumi Makin Panas, Ancaman Perubahan Iklim di Indonesia. Yayasan Pelangi, Jakarta.
Ministry of The Environment, Japan. 2005. Panduan Mekanisme Pembangunan Bersih di Indonesia. (electronic). (G. Helten, Ed., & C. I., Trans.) Institute for Global Environmental Strategies, Jakarta.
Murdiyanto, B. 2004. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Pantai. Cofish Project, Jakarta.
Najiati, S., Agus, A., & Suryadiputra, I. N. 2005a. Pemberdayaan Masyarakat di Lahan Gambut. Wetland International-IP, Bogor:
Najiati, S., Muslihat, L., & Suryadiputra, I. N. 2005b. Panduan Pengelolaan lahan gambut untuk pertanian berkelanjutan. Wetland International-IP, Bogor.
Noor, Y. R., & Heyde, J. 2007. Pengelolaan Lahan Gambut Berbasis Masyarakat di Indonesia. Wetland International-IP, Bogor:
Rufi'i. 2008. Glossary of Climate Change acronyms. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Jakarta.
Suryadiputra, I. N., Dohong, A., Wibisono, S. R., Muslihat, L., Lubis, I. R., Hasudungan, F., et al. 2005. Panduan Penyekatan Parit dan Saluran di Lahan Gambut Bersama Masyarakat. Wetland International-IP, Bogor.
Wibisono, I. T., Siboro, L., & Suryadiputra, I. N. 2005. Panduan Rehabilitasi dan Teknik Silvikultur di Lahan Gambut. Wetlands International-IP, Bogor:
Yayasan Pelangi. 2006. Perubahan iklim. Brosur. Yayasan Pelangi, Jakarta.


Posted under real circumstance, source will be published and will not claimed as its own writing

Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Adat

Oleh : Jomi Suhendri. S*

Dalam banyak kasus, kekayaan hutan alam Indonesia seringkali menimbulkan konflik di tengah masyarakat, baik konflik antara pemerintah dengan masyarakat maupun konflik antara masyarakat dengan masyarakat itu sendiri. Dari sekian banyak konflik yang sering mencuat ke permukaan, konflik yang berkaitan dengan pengelolaan hutan merupakan hal yang paling sering terjadi.

Dampak dari konflik itu, tak jarang menimbulkan berbagai dampak yang secara langsung dirasakan oleh masyarakat itu sendiri, seperti hilangnya akses masyarakat adat dalam pengelolaan hutan. Padahal, selama berabad-abad mereka telah menggantungkan kehidupannya pada hutan dan kekayaan yang terkandung di dalamnya. Berangkat dari persoalan itulah, semestinya pemerintah harus mendorong lahirnya kebijakan pengelolaan hutan yang berbasiskan masyarakat.

Di Sumatera Barat (Sumbar), sistem pengelolaan hutan berdasarkan kearifan lokal dan diatur menurut ketentuan hukum adat setempat telah lama ada. Dalam hukum adat Minangkabau, hal itu dikenal dengan istilah ‘tanah ulayat’. Tanah ulayat secara sederhana bisa diartikan sebagai satu kesatuan wilayah yang mempunyai hak, baik itu hak ulayat kaum, hak ulayat suku maupun hak ulayat nagari. Tanah ulayat bisa berupa hutan maupun parak (kebun), sawah dan fungsi lainnya, yang secara arif difungsikan oleh masyarakat adat di Sumbar sesuai dengan kebutuhan dan ekologi.

Konsep pengelolaan hutan seperti itu sebenarnya sudah ada dalam masyarakat adat yang diwariskan secara turun temurun. Bahkan, hingga saat ini, konsep pengelolaan hutan yang berdasarkan pada kearifan lokal ternyata mampu membuktikan kalau pengelolaan yang berbasiskan pengalaman, pengetahuan dan teknologi lokal mampu meningkatkan ekonomi masyarakat, serta menjaga fungsi ekologi hutan dan tidak melulu eksploitatif.

Kita bisa melihat konsep pengelolaan yang dilakukan oleh masyarakat adat di Koto Malintang, Kabupaten Agam, Sumbar. Di daerah ini, sistem pengelolaan hutannya dikenal dengan istilah ‘parak’, istilah yang dikenal luas di Minangkabau. Parak di Koto Malintang ini menghasilkan hasil hutan yang khas, baik untuk dijual maupun untuk kebutuhan harian, termasuk kayu bangunan, kayu bakar beserta hasil hutan ikutan seperti buah hutan liar dan sayuran, bahan obat dan lain-lain. Di dalam parak juga ditanami pohon-pohon jenis usaha tani seperti durian, kayu manis, pala, kopi dan tanaman buah budi daya serta tanaman berumur pendek seperti cabai, tanaman berumbi, kacang-kacangan.

Dalam parak, pola produksi dan perkembangan spesies mirip dengan yang terjadi pada ekosistem hutan alami. Ternyata pengelolaan hutan seperti ini bisa menjaga kelestarian hutan tanpa merusak ekosistem yang terdapat didalamnya.


UU No. 41 tahun 1999 tentang kehutanan seharusnya bisa memberikan jaminan kepada masyarakat baik dari segi kepemilikannnya, penentuan kawasan dan hak pengelolaannya. Akan tetapi, sebagai dasar pengaturan tentang hutan, dalam UUK ini masih terdapat kelemahan-kelamahan dalam penghormatan terhadap hak masyarakat adat. Salah satunya tercermin dengan tidak diakuinya status hutan adat.

Walaupun dalam pasal 5 ayat 2 dijabarkan bahwa hutan Negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, dapat berupa hutan adat tapi itu tidaklah cukup untuk melindungi dan menghormati hak masyarakat adat terhadap hutan, karena secara tersirat negara disatu sisi berusaha untuk menghilangkan keberadaan hutan adat. UUK ini bila kita lihat dari substansinya secara politik hukum masih menganut paradigma pengelolaan hutan yang masih didominasi oleh negara dan tidak mengarah sisitim pengelolaan hutan berbasis pada masyarakat adat.

Dalam UUK kehutanan ini juga tergambarkan masih kuatnya keinginan pemerintah dalam hal ini Dephutbun untuk tetap mempertahankan kontrol dan penguasaan terhadap kawasan hutan dan sumber daya hutan. Semangat kontrol dan penguasaan ini terlihat dari pasal 4 mengenai penguasaan kehutanan.

Menurut saya, sudah saatnya pemerintah melakukan revisi terhadap UU No. 41 tahun 1999 tentang kehutanan ini agar kepentingan masyarakat adat terlindungi dan akses masyarakat adat terhadap hutan dalam pengelolaan hutan lebih besar.

Konsep pembangunan dan pengelolaan hutan untuk masa depan harus mengalami reformasi total menuju kepada pemberdayaan masyarakat sekitar. Kegagalan konsep ini akan membawa sumberdaya hutan kita menuju jurang kehancuran yang lebih dalam, sekaligus merupakan ancaman terhadap sistem pembangunan yang berkelanjutan.

(*Direktur Eksekutif Qbar)

Posted under real circumstance, source will be published and will not claimed as its own writing

Friday, September 18, 2009

Ritual Menjijikkan bernama "menyambut Idul Fitri"

Memangnya Idul Fitri itu cuma datang sekali seumur hidup?

Dalam nalar logis di otak gue, yang namanya bulan memang berganti tapi merupakan siklus yang berulang. Gak terkecuali buat kita umat Islam, atau minimal yang terdaftar di KTP-nya...kayak gue juga.

Mari kita menengok ke belakang untuk tahu bahwa kita ini bagian dari orang yang berpengetahuan,belajar dari suatu hal kemudian menerima manfaatnya untukditerapkan atau masih tergolong dalam kaum jahiliyah.

Umur gue 6 tahun waktu emak gue maksa-maksa gue untuk ikutan sahur bareng abang-abang gue. Dengan mata terpejam, mulutku terus dijejalin sama masakan ala kadarnya,mulai dari daging ikan kembung kesukaan guepasawal bulan puasa, sampe sekedar tempe ketika mendekati syawal. Setiap jam 11, ritual yang paling sering gue lakukan adalah memegang perut trus pasang tampang meringis gak tahan, memohon sama emak agar di ijinkan untuk berbuka pas nanti adzan Dzuhur. Walaupun emak keras, tapi pada akhirnya dia gak tega ngeliat penderitaan gue. Gue di ijinin buat berbuka ketika bedug dzuhur.

Padahal kalo gak pas bulan Ramadhan, emak paling kelimpungan nyari'in batang hidung gue yang menghilang semenjak pulang sekolah, cuma sekedar disuruh makan. Jam makan gue aneh, terserah kemauan gue, mau kapan aja, sehari sekali pas mau berangkat sekolah, trus selebihnya diisi penganan gak ketauan gizinya, macam cilok, somay dan apapun yang dibawa sama tukang yang lewat didepan rumah, itupun kalo gue kebetulan pas ada di rumah. kalo enggak, ya gue abisin waktu makan buah2an yang ada di pekarangan rumah besar di sekitar gue.

Caranya gampang, pake alat yang namanya "ketapel". Gak jarang, gue n the gank makan buah2an yang kadang masih mentah, ranum atau terlalu matang ini dengan nafas tersengal-sengal, gak lagilain karena sebelumnya kita dikejar - kejar sama wak haji atau pembantu orang kaya yang gak rela kalo pohon buah2an di ketapelin tiap hari. belakangan gue tahu,mereka cuma pengen ngasih tau, mending naek aja, kalo di ketapel khan bisa bikin genteng2 pada bocor kalo sasaran meleset. GUe and the genk tetep keukeuh ngetapel, karena ada yang gak punya kemampuan memanjat,dan resiko badan dikerubutin semut yang oke punya selama proses pasti ada. Makasih dah...Ketapel is the best.

Giliran Ramadhan, bawa'annya kepengen makan mulu, padahal kalaupun makan, abisnya paling gak seberapa, paling dua bakul.

Tahun depannya, ada obsesi sendiri, kenapa gue rela nahan lapar and haus. Setiap awal puasa Bapak mengeluarkan ultimatum dan jurus istimewa. begini bunyi ajiannya, "Kalo puasanya kagak bocor, gue bakal nerima duit 10x lipat dari kalo puasa gue bolong-bolong...contoh, kalo puasa gue gak bocor, gue dapet gope, kalo bocor, ge cuma dapet gocap. Inget ya, jaman gue kecil, duit segitu gede banget nilainya."


Tapi, begitu bedug maghrib dateng, dijamin tuh, segala yang ada diatas meja pasti ludeds, trus bekel sekolah yang selalu dikasih emak, masih disimpen... tar pas tarawih dipake buat ngeborong gerobak2 jajanan yang bejejer di sekitar masjid. weleh, weleeh, weleh.

Ritual ini terus gue lakukan, cuma gue n temen2 yang tau masing2. paling kalo di sekolah kita pame rmaen gede-gedean hadiah lebaran yang menanti... ada yang dikasih goceng, seceng. ini belum di tambah hadiah daripak haji yang selalu kita ketapelin buahnya pas kita berkunjung ke rumah besarnya. pak haji nanya "nama, anaknya siapa, umur, dan puasanya bocor apa kagak, kalo bocor, bocor berapa?" jawaban kita yang kudu jujur dan menentukan besarnya duit yang dikeluarin sama pak haji dari kantong tebelnya yang udah disiapin lembaran-lembaran cepek, gope and seceng yang masih kinclong-kinclong. Sepanjang jalan kita selalui menikmati bau uang yang baru dicetak... jangan lupa cium tangan pak haji yang udah dari pagi dikasih minyak wangi no.1 keluaran mekkah sono, weeek... gapapa, seceng udah ditangan.

Lama kelamaan ultimatum bapak gak harus disebutkan, gue juga udah ngarti apa yang bakal terjadi kalo puasa gue pol apa kagak. duit bekel sekolah gue simpen buatdi beliin sesuatupas nanti lebaran... maenan, pistol2an, monopoli sampe sepeda... pokoknya sesuai nazar pra puasa gue aja. Trus menjelang lebaran, gue rela berjubel2 sama orang yang jauh lebih tua, cuma buat ngedapetin kaos baru idaman gue, kadang-kadang harus rebutan karena stoknya abis. di pasar rebutan sembako juga. hampir mampustuh orang2 pada empit2an. kada nggak tau kalo pantatnya udah ditowel-towel sama pemindah dompet seketika, bukan sulap bukan sihir....itu namanya copet.

SMP dan SMA, pak Hadi, dan Guru - guru agama di sekolah gue ngasih tau manfaat puasa yang kita jalanin, dan kenapa kita menjalankan puasa. salah satu kutipannya kalo gak salah ada di ayat yang bunyinya: "Diwajibkan berpuasa selama bulan ramadhan bagi kaum muslim, sepertiapa yang diwajibkan juga kepada orang-orang sebelum kita". trus sejarah gimana Nabi Muhammad SAW, memperjuangkan perintah puasa ini, yang tadinya dari setengah waktu dalam kalender... kayak umat Nabi Musa AS. Sehari Puasa, Sehari Enggak. bayangin tuh enaknya jadi orang islam.

Trus, banyak cerita dari guru-guru ngaji gue tentang keutamaan puasa, hasil penelitian
saintis tentang manfaat puasa, gimana cara memperkuat keimanan dengan puasa dengan tetap menjalankan ibadah wajib lainnya. Yang ngerasain manfaatnya yahyang melaksanakannya dong. hadiahnya juga gede banget, bisa ngerasain yang namanya "Lailatul Qadr".

Kalo dari sudut pandang gue yang sempit, gue berani bertaruh gue pernah ngerasainyang namanya "Lailatul Qadr". Karena begitu gue melaksanakan puasa dengan bener, ngisi mulut gue sama ayat-ayat Al-Qur'an yang sampe sekarang gak pernah lancar bacanya. Jungkir balik siang malem, 17+.... sama sunah-nya segala. Ketika Ramadhan abis, gak ada tuh keinginan macem2....ini-lah,itu-lah. Dan ini yang gue akui sebagai "Lailatul Qadr"...maap-maap baju baru, or jubel2an. dan kalo gue pikir, masih ada lebih dari setengah dari orang Indonesia yang juga menikmati "Lailatul Qadr" kayak gue, karena mereka gak "mau" ngerasain lebaran cuma dengan hal-hal baru, baju baru atau apapun yang baru. Tapi sebagian lagi karena terpaksa.

Pagi ini sepanjang jalan gue udah nemuin tiga copet mukanya bonyok ketangkep basah... katanya puasa, kok masih nyopet?, katanya puasa, kok mukulin copet, khan mukul pasti pake napsu?

trus banyak banget tabrakan, mulai dari motor yang penuh sama bawa'an mudik, kelindes gara-gara nyerobot, sampe mobil sama mobil yang gak jarang diikuti baku hantam si pengemudi, dimobil udah ada parcel hadiah dari kantor, sama baju2 baru buat anak bini. Katanya puasa, kok gak bisa sabar? coba sabar dikit,udah nyampe ke kampung tuh hasil keringet setaun dikota, dan gak kudu mampir ke kantor polisi khan. Malu ah, udah tua.

gue jadi kepikiran, kenapa harus puasa?
kalo puasa gak bisa merubah tingkah laku kita?
trus ngapain kudu memeprlihatkan sifat jahiliyah padahal berlabel "Islam"?

temen gue dengan sedikit guyon bilang gini....udah tradisi sih.
trus kalo tradisinya jelek, harus terus diikutin?

Blah, gue udah minta segelas kopi lagi sama anto, hari ini tanggal 28 Ramadhan 1430 H, jam 3 sore. Anto pahalanya gede, bisa nahan kalo gue dari tadi ngopi, makan, ngerokok didepan or sekitar dia.

Posted under real circumstance. if writing came from others, source will be published and will not claimed as its own writing

Wednesday, August 26, 2009

Satu dari sejuta Musim di Indonesia


Fenomena menarik dari negeri ribuan pulau di khatulistiwa. Kalau orang di negara utara begitu bangga dengan four season yang mereka miliki, Indonesia juga tidak kalah dengan sejuta musimnya.

2 Musim utama... kemarau dan penghujan, disamping itu masih ada musim lain yang mengikutinya, musim kemarau selalu diikuti dengan musim mancing, musim layangan, musim touring, musim mendaki dll. begitu juga musim penghujan juga diikuti oleh musim tanam, berbunga, berbuah, musim kawin, musim masuk angin, musim ngojek payung dan masih banyak lagi. itu baru yang terkait dengan musim utamanya, belum lagi musim - musim yang mengiringi setiap proses suatu agama tertentu.

Bagi umat muslim, tentu udah nggak aneh kalo dalam setiap perhitungan bulannya pasti muncul satu bulan penuh rahmah dan ampunan, dikenal dengan nama Ramadhan, ada diantara Syaban dan Syawal. Ramadhan dipercaya sebagai bulan penuh berkah juga, maka dari itu banyak umat muslim yang berlomba - lomba untuk berbuat kebaikan di bulan yang istimewa ini. selain masih banyak juga cara yang agak aneh dalam menjalankannya, coba aja lihat ke dri sendiri, bagaimana kita menghabiskan waktu kita nunggu acara keramat bertajuk bedug maghrib... ada yang ngabuburit, ada yang molor seharian, ada yang berdiam diri di masjid (biasanya mah di mall), sekarang mungkin banyak yang memanfaatkannya dengan menikmati fasilitas-fasilitas aplikasi yang ada di jaringan sosial ternama bernama facebook. cara tradisional juga banyak.... baca komik, maen games pokoke anything buat nipu perut yang kosong.

Untuk sebagian yang lain, bulan Ramadhan akan dimanfaatkan dengan memperbanyak amal ibadah, karena, katanya pahalanya aan berlipat - lipat ganda. sampe sekarang gue agak- agak gak jelas pahala itu bentuknya kayak gimana, but that's not the point.

Nah, sebagai seorang usahawan tercanggih yang selalu berprinsip: "modal sekecil-kecilnya, untung sebanyak-banyaknya". pasti akan berfikir, bulan ramadhan harus bisa "dijadikan ladang usaha".

masih gak mudheng?

Ini berkaitan sama musim yang satu ini...... coba lihat sekeliling kita. pasti kita bisa melihatnya dimana - mana, dan dibulan lain belum tentu ada. ini yang gue rasain dalam beberapa hari terakhir ini.

"munculnya pengusaha pahala"

lihat lebih cermat lagi. pengusaha ini hanya menjalankan usahanya ditempat - tempat tertentu saja. pikir lebih keras lagi. usaha apa yang gak ada di bulan lain...

Oke, sekarang kita lihat dan pikirkan bareng - bareng sambil kita renungkan lagi.

Perjalanan antara rumah - kantor - rumah (plus kalo biasa mampir2 dulu ke factory outlet, bioskop, fitness dll abis pulang gawe) sudah menjadi santapan kita sehari - hari. nah secara otomatis dalam otak kita terbayang setiap jengkal jalan yagn kita lalui, berapa belokan untuk mencapai tujuan, berapa tanjakan, turunan, polisi tidur, preman berkedok pengatur lalu lintas. dan berapa lampu lalu lintas (lampu merah) yang kita lalui.

Nah, untuk spot yang terakhir, coba perhatikan lagi, kita pasti udah bisa mengenali, ada berapa tukang koran, tukang rokon n tissue disana, termasuk pengusaha bermodal kecil yang satu ini.... julukan umumnya yang kita kenal yaaaah.... "pengemis" atau "tukang minta - minta".

gue tetep nyebutnya pengusaha, karena liat aja, modalnya cuma baju yang sebenernya udah jadi lap, terus dipake lagi, gak perlu dasi, dll. acting secukupnya (akibat terlalu banyak nonton sinetron) jadi stok muka susah, iba dan sedihnya pasti banyak.

3 hari lalu gue bisa nebak, pengemis-pengemis yang mangkal ditiap lampu merah yang gue lalui. tapi 2 hari belakangan ini jumlah mereka kok makin hari makin banyak ya, dan makin beragam tingkah lakunya.

Ini berkaitan juga sama pengalaman gue beberapa tahun lalu. secara gak sengaja dan penuh niat tulus, gue coba memberikan sedikit kelebihan rejeki gue ke salah satu dari mereka, dan hanya salah satu dari mereka. terus gue pernah menyempatkan membagi rasa juga dengan bertegur sapa, sekedar basa basi, biar lebih kenal gituh. eh gue nemuin, jam 2 siang, dimana semua umat muslim lagi nahan lapar hausnya, dengan tenang, sebut aja namanya "si mbok". selesai menghitung penghasilannya, bergegas beranjak menuju salah satu warung makan yang memang setiap bulan Ramadhan, ditutupin sama kaen (menghormati yang puasa katanya). dengan tenang si mbokmasuk dan makan disana. kalo dilihat lauk pauknya, widih, lebih mewah dari apa yang bisa gue beli.

Dalam hati gue cuma bisa bilang, wajar lah si mbok khan seharian terbakar sinar matahari, jadi, mungkin tuhan yang maha pengampun, akan memaklumi perjuangan yang mbok lalui.

Sebulan berlalu, jumlah "pengusaha" lalu lintas ini berangsur - angsur surut. di bulan syawal itu, gue punya niat, udah berapa lama gue ihidup di ibukota, hampir gak pernah tau apa yang namanya kampung halaman. bayangin aja, dari lahir udah dikenalin sama udara jakarta, walhasil cuma numpang nama aja mewakili salah satu ras di Indonesia, tapi kalo ngomong, dikit2 aja bisanya.

Di dalam kereta yang penuh sesak itu, mata gue menagkap sosok si mbok, dengan penampilan yang jauh dari gue lihat setiap harinya selama beliau "usaha". (Kaget bin Heran lah gue, tapi khan ada fenomena, dimanaada kemungkinan orang dilahirkan kembar, bukti paling nyatanya ada sanggar Nakula Sadewa binaan "Kak Seto". tapi untuk kasus si mbok ini gue yakin, yang gue liat bukan kembarannya). Bajunya baru loh, maklum Lebaran.

Di satu kota, si mbok turun, gue penasaran, gapapa lah ikut turun, toh gak ada juga yang gue kejar. Journey yang gue rencanain gak ada kaitannya sama ngejar waktu dan terburu-buru. bergaya bak detektif partikelir, gue bisa juga ngikutin si mbok sampe rumahnya.

stok kaget gue makin bertambah begitu gue tau, kalo si mbok itu punya rumah yang bisa dibilang cukup besar kalo dibanding rumah petakan yang selama ini gue tempatin di jakarta. Pura-pura orang linglung, gue ngetest.... nanya alamat di rumah si mbok, kayaknya si mbok gak ngenalin gue, mungkin karena penampilan gue yang justru lebih lecek dari biasanya, mungkin akibat kegencet-gencet dengan sukses di kereta.

Jadi, gue gak bakal terheran-heran lebih dahsyat lagi kalo tau2 si mbok ngasih comment di note yang gue bikin ini.

Wow..... gue kagum sama si Mbok..... benar2 pengusaha ulet yang sukses.

trus, apakah dengan tahu kalo ada yang menjadi pengusaha pahala ini akan juga menyurutkan niat tulus kita untuk selalu beramal?

yah, tinggal pilah pilih aja, bulatkan tekad kita untuk terus beramal, pasti'in bahwa amal ikhlas yang kita keluarkan sesuai dengan arti amal itu sendiri.



Posted under real circumstance, any other sources will be published and will not claimed as its own writing

WE CARE - KITA PEDULI

South to South Film Festival 2010

Apakah kita tahu dari mana air kemasan yang selama ini kita minum?
Ataukah kita tahu asal muasal sabun, minyak goreng, buku, bensin hingga
listrik yang selama ini sudah akrab dengan kita? Atau tahukah kita bahwa
dibalik air kemasan yang kita minum, sabun, minyak goreng, buku, bensin
hingga listrik yang kita gunakan sehari-hari, ternyata ada derita
masyarakat di asal barang tersebut diambil?

Tak banyak yang tahu, di Babakan Pari, Gunung Salak, Sukabumi, warga
kini kesulitan mendapatkan sumber air bersih untuk kebutuhan
sehari-hari, karena AQUA telah menyedotnya untuk dijual dalam kemasan
botol dan gelas.

Atau warga di Pasaman Barat, Sumatera Barat yang tak bisa lagi bertani
karena lahannya diambil PT Anam Koto untuk dijadikan perkebunan sawit.
Minyak sawit inilah yang nantinya akan menjadi bahan pembuatan sabun,
minyak goreng dan kosmetik yang kita pakai sehari-hari.

Pun juga warga di Dayak Paser: Suateng, Damit, Bekoso, Lempesu, Suweto,
di Kabupaten Paser, Kalimantan Timur yang harus berpindah ke desa lain
yang jaraknya 2 - 10 km jauhnya dari kampung lamanya, karena PT Kideco
Jaya Agung telah merusak kampung tersebut untuk diambil batubaranya.
Batubara inilah yang nantinya menjadi bahan sumber listrik di rumah kita.

Sebenarnya masih banyak lagi masyarakat di sekeliling kita yang harus
mengorbankan hidupnya karena telah diambil hak-haknya oleh
industri-industri yang merusak.

Kami mengajak anda peduli dan bergabung bersama South to South (StoS)
Film Festival

Buka informasi selengkapnya di www.stosfestival. org

------------ ---
Sekretariat Panitia South to South Film Festival 2010
Jl. Mampang Prapatan II/30 RT 04/RW 07 Mampang Prapatan, Jakarta Selatan
Telp/Fax. 021-7941559
Email : stosfilmfestival@ gmail.com
Website: www.stosfestival. org


Posted under real circumstance, if there any other sources, it will be published and will not claimed as its own writing

Monday, June 22, 2009

Kayahangna mah, hirup kami aman sareung tentrem

“Kapungkur sawaktos ada Perhutani didieu, urang dieu mah aman sareung tentrem hirupna. Tos aya pernjanjian sareng Perum (red: Perhutani) dimana urang tiasa meulak jenjeng, afrika sareung sagalana, dimana perum tiasa meulak pinus sareung rasamala. Ari patani ge tiasa nuar eta kayu hasil peulakan kangge imah jeung dijual. Aya bateus nu jeulas. Tapi ayeuna mah, urang ngan tiasa meulakan hungkul, ari eta jenjeng leutik di tuar, urang pasti di tewak ku patugas (TN)!.” (dulu waktu masih jadi perhutani disini, masyarakat hidup dengan aman dan tentram. Sudah ada perjanjian dengan Perum, dimana ada batas yang jelas antara tanah milikperum dan tanah masyarakat, sehingga kami dengan leluasa bisa menanam pohon jeunjing dan kayu afrika untuk kemudian diambil hasilnya. Sekarang kami Cuma bisa menanam, begitu kayu hasil tanaman kami akan diambil hasilnya,kami pasti langsung ditangkap oleh petugas) Demikian tutur Pepeng, 55 tahun warga kampung Cimahpag, Sinaresmi. “Kami hoyong siga baheula, Aman sareung Tentrem” (Kami ingin seperti dulu lagi,aman dan tenteram). Pernyataan serupa juga diungkapkan warga lain yang berdiam di desa Sinaresmi, Kabupaten Sukabumi.

Kekhawatiran tersebut mulai muncul ketika pada tahun 2003, TNGH mengalami perluasan dengan sebagian dari ahli fungsi lahan perhutani melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan NOMOR : 175/Kpts-II/2003 tentang Penunjukan Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Dan Perubahan Fungsi Kawasan Hutan Lindung, Hutan Produksi Tetap, Hutan Produksi Terbatas Pada Kelompok Hutan Gunung Halimun Dan Kelompok Hutan Gunung Salak Seluas ± 113.357 (Seratus Tiga Belas Ribu Tiga Ratus Lima Puluh Tujuh) Hektar Di Provinsi Jawa Barat Dan Provinsi Banten Menjadi Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Lebih dari 300 kampung kini masuk dalam kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Kalau mengacu pada Undang – undang No 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Dan Ekosistemnya, jelas tidak disebutkan secara spesifik tentang masuknya unsur manusia dalam ekosistem, hanya sekedar menitik beratkan kepada “peran serta” rakyat saja seperti tertuang pada Pasal 4, 7, 8. Bahkan intervensi manusia (masyarakat) sangat dibatasi pada pasal 19, 21 (1), 33 dengan hukuman sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Peran serta rakyat didorong pada pasal 37, tapi lagi dalam lingkup yang sangat terbatas. Hak kewajiban masyarakat juga disebutkan dalam pasal 5 dan 6 UU No. 23 tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.

“Gunung Kayuan, Lamping Awian, Legok Balongan, Datar Imahan, Lebak Sawahan” merupakan sistem pengelolaan Wewengkon (tata ruang Sumberdaya alam) yang berkembang dalam tataran hidup masyarakat kasepuhan atau kaolotan yang berdiam di dalam kawasan Sanggabuana. Seiring perkembangan jaman, pola pengelolaan ini masih dipegang teguh oleh masyarakat kaolotan. Pandangan hidup ini jelas telah terbukti mampu menjadi penyangga kehidupan masyarakat, dan juga menjaga kelestarian dan keberadaan sumberdaya hutan di sekitar Palemburan (kampung). Implementasi yang nyata adalah dengan membagi hutan dalam bentuk Leuweung Kolot, Titipan, Tutupan dan Awisan. Keberadaan hutan sangat dijaga demi kelestarian supply air untuk mengairi sawah dan kebutuhan hidup harian masyarakat.

Perubahan dalam kewenangan pengelolaan SDH sering kali menempatkan masyarakat yang tinggal di sekitar hutan sebagai kambing hitam dengan cap perambah hutan, illegal logger dan istilah – istilah lain yang makin memarjinalkan masyarakat. Hal ini sangat bertolak belakang dengan keberadaan perusahaan yang terus saja mengeruk sumberdaya alam, walaupun kini sudah berubah fungsi menjadi kawasan konservasi. “Chevron dan Aneka Tambang beraktivitas di gunung halimun sebelum adanya penunjukkan kawasan menjadi Taman Nasional” Penjelasan Genman, Kepala Seksi TNGHS dalam suatu sesi seminar dan “Lokakarya Perlindungan dan Pemenuhan Hak – Hak Masyrakat Kasepuhan dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam”, Kasepuhan Sinaresmi, 13 – 14 Juni 2009. “ Mereka memiliki ijin kuasa yang akan berakhir selama periode 25 tahun. Bila dipikir, apa bedanya dengan keberadaan masyarakat-pun sudah berada dalam kawasan jauh sebelum di tunjuk menjadi Taman Nasional.

Bagaimana dengan rencana pengembangan daerah ekowisata seluas 1000 ha di puncak Gunung Salak oleh PT. Graha Andrasentra Propertindo yang merupakan perpanjangan tangan Bakrieland Development Tbk. Bambang Supriyanto, Kepala Balai TNGHS, sejauh ini belum memberikan rekomendasi atas rencana tersebut. Pengembangan wisata hanya boleh dilakukan di kawasan pemanfaatan, bukan zona inti. Proposal yang mereka ajukan berada dalam zona inti, jelas ini sangat bertentangan dengan Aturan yang berlaku dalam pengelolaan kawasan konservasi.

Kembali kepada masalah pengakuan terhadap keberadaan masyarakat kasepuhan dalam kawasan konservasi dapat ditempuh melalui terbitnya Perda yang dikeluarkan oleh pemerintah kabupaten setempat seperti diatur dalam pasal 67 UU No.41 tahun 1999 tentang kehutanan dan penjelasannya. Pengakuan lain juga bisa ditempuh dengan memperjuangkan melalui Rencana Tata Ruang Kesepakatan (RTRK) yang juga berada dalam kewenangan pemerintah kabupaten. Pilihan lain bisa melalui penerapan sistem Zona Khusus Tradisional dalam taman nasional yang berada dibawah kewenangan pengelola taman nasional, dan diatur secara tertulis melalui MoU (Memorandum of Understanding) antara pengelola taman nasional dengan masayrakat setempat dan penerapan program Masyarakat Kampung Konservasi (MKK).

Pilihan lain yang harus dipikirkan adalah bagaimana dengan upaya peningkatan ekonomi masyarakat dengan tetap mempertahankan kelestarian sumberdaya alamnya dan juga permasalahan-permasalahan sosial yang timbul. Jadi bila memang ada pengakuan terhadap keberadaan masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya hutan, jangan dilakukan secara setengah – setengah.