Monday, June 22, 2009

Kayahangna mah, hirup kami aman sareung tentrem

“Kapungkur sawaktos ada Perhutani didieu, urang dieu mah aman sareung tentrem hirupna. Tos aya pernjanjian sareng Perum (red: Perhutani) dimana urang tiasa meulak jenjeng, afrika sareung sagalana, dimana perum tiasa meulak pinus sareung rasamala. Ari patani ge tiasa nuar eta kayu hasil peulakan kangge imah jeung dijual. Aya bateus nu jeulas. Tapi ayeuna mah, urang ngan tiasa meulakan hungkul, ari eta jenjeng leutik di tuar, urang pasti di tewak ku patugas (TN)!.” (dulu waktu masih jadi perhutani disini, masyarakat hidup dengan aman dan tentram. Sudah ada perjanjian dengan Perum, dimana ada batas yang jelas antara tanah milikperum dan tanah masyarakat, sehingga kami dengan leluasa bisa menanam pohon jeunjing dan kayu afrika untuk kemudian diambil hasilnya. Sekarang kami Cuma bisa menanam, begitu kayu hasil tanaman kami akan diambil hasilnya,kami pasti langsung ditangkap oleh petugas) Demikian tutur Pepeng, 55 tahun warga kampung Cimahpag, Sinaresmi. “Kami hoyong siga baheula, Aman sareung Tentrem” (Kami ingin seperti dulu lagi,aman dan tenteram). Pernyataan serupa juga diungkapkan warga lain yang berdiam di desa Sinaresmi, Kabupaten Sukabumi.

Kekhawatiran tersebut mulai muncul ketika pada tahun 2003, TNGH mengalami perluasan dengan sebagian dari ahli fungsi lahan perhutani melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan NOMOR : 175/Kpts-II/2003 tentang Penunjukan Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Dan Perubahan Fungsi Kawasan Hutan Lindung, Hutan Produksi Tetap, Hutan Produksi Terbatas Pada Kelompok Hutan Gunung Halimun Dan Kelompok Hutan Gunung Salak Seluas ± 113.357 (Seratus Tiga Belas Ribu Tiga Ratus Lima Puluh Tujuh) Hektar Di Provinsi Jawa Barat Dan Provinsi Banten Menjadi Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Lebih dari 300 kampung kini masuk dalam kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Kalau mengacu pada Undang – undang No 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Dan Ekosistemnya, jelas tidak disebutkan secara spesifik tentang masuknya unsur manusia dalam ekosistem, hanya sekedar menitik beratkan kepada “peran serta” rakyat saja seperti tertuang pada Pasal 4, 7, 8. Bahkan intervensi manusia (masyarakat) sangat dibatasi pada pasal 19, 21 (1), 33 dengan hukuman sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Peran serta rakyat didorong pada pasal 37, tapi lagi dalam lingkup yang sangat terbatas. Hak kewajiban masyarakat juga disebutkan dalam pasal 5 dan 6 UU No. 23 tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.

“Gunung Kayuan, Lamping Awian, Legok Balongan, Datar Imahan, Lebak Sawahan” merupakan sistem pengelolaan Wewengkon (tata ruang Sumberdaya alam) yang berkembang dalam tataran hidup masyarakat kasepuhan atau kaolotan yang berdiam di dalam kawasan Sanggabuana. Seiring perkembangan jaman, pola pengelolaan ini masih dipegang teguh oleh masyarakat kaolotan. Pandangan hidup ini jelas telah terbukti mampu menjadi penyangga kehidupan masyarakat, dan juga menjaga kelestarian dan keberadaan sumberdaya hutan di sekitar Palemburan (kampung). Implementasi yang nyata adalah dengan membagi hutan dalam bentuk Leuweung Kolot, Titipan, Tutupan dan Awisan. Keberadaan hutan sangat dijaga demi kelestarian supply air untuk mengairi sawah dan kebutuhan hidup harian masyarakat.

Perubahan dalam kewenangan pengelolaan SDH sering kali menempatkan masyarakat yang tinggal di sekitar hutan sebagai kambing hitam dengan cap perambah hutan, illegal logger dan istilah – istilah lain yang makin memarjinalkan masyarakat. Hal ini sangat bertolak belakang dengan keberadaan perusahaan yang terus saja mengeruk sumberdaya alam, walaupun kini sudah berubah fungsi menjadi kawasan konservasi. “Chevron dan Aneka Tambang beraktivitas di gunung halimun sebelum adanya penunjukkan kawasan menjadi Taman Nasional” Penjelasan Genman, Kepala Seksi TNGHS dalam suatu sesi seminar dan “Lokakarya Perlindungan dan Pemenuhan Hak – Hak Masyrakat Kasepuhan dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam”, Kasepuhan Sinaresmi, 13 – 14 Juni 2009. “ Mereka memiliki ijin kuasa yang akan berakhir selama periode 25 tahun. Bila dipikir, apa bedanya dengan keberadaan masyarakat-pun sudah berada dalam kawasan jauh sebelum di tunjuk menjadi Taman Nasional.

Bagaimana dengan rencana pengembangan daerah ekowisata seluas 1000 ha di puncak Gunung Salak oleh PT. Graha Andrasentra Propertindo yang merupakan perpanjangan tangan Bakrieland Development Tbk. Bambang Supriyanto, Kepala Balai TNGHS, sejauh ini belum memberikan rekomendasi atas rencana tersebut. Pengembangan wisata hanya boleh dilakukan di kawasan pemanfaatan, bukan zona inti. Proposal yang mereka ajukan berada dalam zona inti, jelas ini sangat bertentangan dengan Aturan yang berlaku dalam pengelolaan kawasan konservasi.

Kembali kepada masalah pengakuan terhadap keberadaan masyarakat kasepuhan dalam kawasan konservasi dapat ditempuh melalui terbitnya Perda yang dikeluarkan oleh pemerintah kabupaten setempat seperti diatur dalam pasal 67 UU No.41 tahun 1999 tentang kehutanan dan penjelasannya. Pengakuan lain juga bisa ditempuh dengan memperjuangkan melalui Rencana Tata Ruang Kesepakatan (RTRK) yang juga berada dalam kewenangan pemerintah kabupaten. Pilihan lain bisa melalui penerapan sistem Zona Khusus Tradisional dalam taman nasional yang berada dibawah kewenangan pengelola taman nasional, dan diatur secara tertulis melalui MoU (Memorandum of Understanding) antara pengelola taman nasional dengan masayrakat setempat dan penerapan program Masyarakat Kampung Konservasi (MKK).

Pilihan lain yang harus dipikirkan adalah bagaimana dengan upaya peningkatan ekonomi masyarakat dengan tetap mempertahankan kelestarian sumberdaya alamnya dan juga permasalahan-permasalahan sosial yang timbul. Jadi bila memang ada pengakuan terhadap keberadaan masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya hutan, jangan dilakukan secara setengah – setengah.