Friday, October 30, 2009

Apa yang anda Pikirkan ketika mendengar Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim?

Riau Menghadapi Adaptasi Adaptasi dan Mitigasi
by: FADIL NANDILA

I. PENDAHULUAN
Dalam keadaan normal, suhu udara rata-rata di Propinsi Riau adalah 35 derajat Celcius dan saat ini mencapai 35,9 derajat Celcius, hal ini abnormal menurut Blucher Dolok Saribu, Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika, Pekanbaru sebagaimana dikutip Kasri (2009) dalam makalahnya yang disampaikan pada acara Peringatan Hari Lingkungan Hidup se Dunia 2009, 18 Juni 2009 di Bagan siapi-api, Rokan Hilir. Pada makalah tersebut juga terlaporkan bahwasanya pada tanggal 28 Mei 2009, saat mendampingi mahasiswa Pascasarjana Universitas Riau melakukan praktikum di Sungai Sail Pekanbaru, mencatat suhu udara berada pada kisaran 38,5 derajat Celcius. Sementara di harian Riau Pos tertanggal 2 Juli 2009, Dosen Pascasarjana ini menyampaikan bahwa National Centre for Scientific Research (CNRS) yang berbasis di Paris seperti dikutip kantor berita AFP (24-01-2008) melaporkan, sepanjang dua tahun terakhir, wilayah Arktik di Kutub Utara kehilangan es seluas dua kali luas Prancis atau sepuluh kali pulau jawa.


II. SKENARIO PENURUNAN POPULASI MANUSIA OLEH FENOMENA PERUBAHAN IKLIM

Bagaimana tingkat stabilitas populasi manusia mulai dari habitat kutub hingga subtropis, jika hewan sumber protein manusia mulai menghilang karena mencairnya es di kutub bumi yang berakibat pada menurunnya populasi hewan sebagai makanan utama manusia di sana? Mortalitas populasi manusia di sana akan tinggi karena kebutuhan protein hewani sebagai penghangat tubuh mereka semakin berkurang. Bagaimana pula dengan tingkat stabilitas populasi manusia di habitat tropis hingga subtropis? Dari sisi konsumsi mungkin masih relatif aman, tapi dari perubahan cuaca, mortalitas populasi manusia akan tinggi dikarenakan fluktuasi suhu yang ekstrim. Hal ini menyebabkan wabah penyakit, kekeringan, dehidrasi yang mengganggu metabolisme tubuh manusia. Selain itu perubahan iklim pun mengancam manusia dalam bentuk bencana alam dan bencana ekologi yang frekwensi kehadiranannya tidak teratur dan sulit diprediksi.
Lalu, apakah dengan situasi ini kita buru-buru pasrah dengan alasan kehendak Tuhan menciptakan kiamat kecil? Atau kita harus cepat beradaptasi sehingga selamat dari kiamat kecil ini? Mari menjadi manusia unggul yang mampu bertahan dan tetap berkembang dalam situasi iklim yang kurang menguntungkan. Sesuai dengan pernyataan Kasry (2009) di harian Riau Pos tanggal 2 Juli 2009; masyarakat baik sebagai individu maupun kelompok dapat berperan aktif, misalnya mengurangi konsumsi listrik, mengurangi penggunaan kendaraan pribadi dan lebih banyak menggunakan transportasi massal ataupun bersepeda dan berjalan kaki, menanam pohon di sekitar rumah dan lingkungan tempat tinggalnya.
Untuk berperan aktifnya individu manusia seperti saran tersebut maka diperlukan penyusunan model yang dapat di aplikasi oleh para partisipan yang peduli pada upaya mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim.
2.1. Bencana alam dan bencana ekologi
Energi mengalir dari satu materi ke materi lain selalu menghasilkan dispersi energi, belum terbukti bahwa energi dapat termanfaatkan 100% oleh satu sistem materi. Bencana alam merupakan gejala alamiah dalam keseimbangan ekosistem dikarenakan fenomena dispersi energi. Petir mengakibatkan kebakaran, hujan mengakibatkan banjir, suhu mengakibatkan kekeringan dan timbunan salju, angin ribut yang mengakibatkan kehancuran, pergeseran lempeng, pelepasan gas, cairan dan padatan dari perut bumi yang menyebabkan gempa semua terjadi karena keberadaan dispersi energi baik berbentuk kinetik maupun potensial. Gejala-gejala ini pun selalu diikuti oleh natalitas, mortalitas dan suksesi populasi tertentu secara alamiah yang berakibat pada perubahan rantai makanan dalam jejaring makanan. Dengan demikian bencana alam juga menyebabkan hadirnya bencana ekologi.
Preposisi ini sesuai dengan pernyataan bahwasanya bencana alam yang hadir pada suatu kawasan berakibat pada ketidak nyamanan dalam habitat sehingga perlu waktu yang cukup untuk pemulihan kondisi hingga habitat kembali nyaman dinaungi oleh berbagai populasi sehingga rantai makanan kembali normal (Kasry, 2007). Selain itu, menurut Diposaptono (2008), Gempa dan Tsunami di Nangro Aceh Darusalam tahun 2005 menghancurkan habitat wilayah pesisir baik yang alami seperti hutan mangrove maupun buatan seperti pertambakan. Kehancuran ini selanjutnya disikapi dengan program recovery baik dengan cara pembangunan infrastruktur baru maupun rekayasa komunitas pesisir baru. Jika recovery tidak dianalisis dengan baik rencana rekayasanya maka akan mengakibatkan bencana ekologi di kawasan berdekatan dengannya. Situasi ini hampir sama dampaknya dengan rencana reklamasi pantai yang salah perhitungan.
Bencana ekologi merupangan terminologi yang bermakna bencana alam yang disebabkan oleh perkembangan peradaban populasi manusia. Terminologi ini hadir dengan keyakinan bahwasanya peradaban manusia yang hadir atas dasar perkembangan ilmu pengetahuan yang meningkatkan natalitas rate dan menghambat mortalitas rate populasi manusia merupangan parasit bagi keseimbangan aliran energi dan keseimbangan biomas yang ada dalam ekosistem bumi. Peradaban manusia dipandang sebagai parasit atau penyerap keseimbangan karena peradaban manusia selalu digerakkan alat-alat produksi yang menuntut konsumsi energi dan melepaskan residu yang seharusnya tidak perlu ada dalam interaksi biotik dan abiotik di ekosistem bumi (Kasry, 2007).
Belum sempurnanya perkembangan peradaban manusia berakibat tidak terkontrolnya penyerapan energi dan pelepasan residu oleh alat produksi sehingga mengganggu keseimbangan biotik dan abiotik dalam ekosistem, Hal ini berdampak pada semakin dahsyatnya bencana alam baik dari sisi frekwensi maupun daya hancurnya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwasanya bencana ekologi juga menyebabkan bencana alam, dan bencana alam merupakan pemicu natalitas, mortalitas dan suksesi populasi tertentu. Bencana ekologi mempercepat proses tersebut terbukti dari munculnya dampak-dampak perubahan iklim.
Preposisi ini sesuai dengan fakta bahwasanya pemenuhan kebutuhan negara maju atas bahan baku kayu mendorong perusahaan di negara berhutan melakukan eksploitasi besar-besaran sehingga hutan digunduli dan lahan dibersihkan dengan cara membakar. Akhirnya emisi gas rumah kaca dari permukaan bumi menumpuk di atmosfer, terjadi pemanasan global yang berujung pada perubahan iklim yang selanjutnya menjadi pemicu kehadiran bencana alam yang tidak dapat diprediksi kehadirannya dan kedahsyatannya (Suryadiputra, et al., 2005)
2.2. Dampak perubahan iklim
Besarnya emisi gas dari aktivitas pembangunan populasi manusia di dunia menyebabkan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer bumi mengalami peningkatan drastis. Konsentrasi berlebih tersebut berakibat pada terperangkapnya energi panas matahari pada molekul gas rumah kaca yang seharusnya kembali terlepas dari atmosfer bumi. Terperangkapnya energi panas tersebut berakibat pada distribusi panas merata di ruang atmosfer yang diterminologikan sebagai fenomena pemanasan global. Fenomena ini dalam jangka panjang menyebabkan perubahan iklim di permukaan bumi.
Perubahan iklim mempengaruhi perubahan parameter fisika dan kimia dalam habitat sehingga berakibat pada perubahan prilaku populasi salah satu spesies, beberapa spesies maupun seluruh spesies dalam habitat. Perubahan prilaku ini berakibat pada ketidak seimbangan rantai makanan (Food chain) dalam jejaring makanan (Food web). Apalagi semua organisme yang berposisi sebagai konsumen dalam rantai makanan secara naluriah berupaya menjadi konsumen tingkat akhir dengan cara menghindar, bertahan dan menyerang sebagai strategi penyelamatan dirinya dari ancaman apapun.
Ketidak seimbangan rantai makanan disebabkan oleh perpindahan atau putusnya mata rantai makanan, dominasi perpindahan mata rantai makanan maupun putusnya mata rantai makanan dalam jejaring makanan menyebabkan pergeseran/perpindahan aliran energi dan aliran materi dalam habitat. Perebutan materi dan energi ini memicu pada akumulasi pergeseran komposisi parameter fisika dan kimia ideal dalam habitat tersebut. Akumulasi pergeseran komposisi parameter ini selanjutnya akan mempengaruhi perubahan fungsi-fungsi populasi dalam komunitas. Pada gilirannya, ekosistem pun mengalami evolusi menyesuaikan perubahan jalur rantai makanan dalam jejaring makanan, perubahan aliran energi dan materi, perubahan fungsi populasi dalam komunitas dan perubahan komposisi parameter fisika dan kimia dalam ekosistem.
Dalam situasi ini, maka tidak mustahil jika populasi manusia sebagai salah satu konsumen tingkat akhir dalam rantai makanan digantikan oleh populasi dominan dalam komunitas yang potensial berpindah-pindah mata rantai makanan. Atau populasi manusia akan menurun dikarenakan parameter fisika dan kimia pembentuk habitatnya berakumulasi secara acak sehingga tidak layak lagi menjadi habitat populasi manusia. Pada gilirannnya kuantitas dan kualitas populasi manusia menjadi kecil dalam komunitas tertentu hingga berpotensi menuju kepunahan dalam jangka waktu tertentu.
Oleh sebab itu, manusia perlu melakukan upaya mitigasi terhadap perubahan iklim agar parameter fisika dan kimia dalam habitat kembali wajar sehingga diikuti dengan kembali normalnya rantai makanan dalam jejaring makanan dan meletakkan kembali manusia sebagai konsumen tingkat akhir. Selain itu manusia perlu melakukan adaptasi terhadap perubahan iklim agar akumulasi perubahan parameter fisika dan kimia dalam habitat tidak berpengaruh nyata pada individu manusia dan populasi manusia secara langsung, atau beradaptasi agar pergeseran mata rantai makanan dalam jejaring makanan yang sulit dihindari ini tetap memposisikan manusia dan populasinya sebagai konsumen tingkat akhir sejajar dengan konsumen tingkat akhir lainnya dalam komunitas yang sama.
Berikut ini beberapa ilustrasi skenario perubahan iklim yang mempengaruhi perubahan rantai makanan dalam jejaring makanan dan mengancam kuantitas dan kualitas populasi manusia (Gambar 1).

Gambar 1. Ilustrasi skenario; perubahan parameter abiotik menghimpit populasi manusia (sumber: interpretasi penyusun)

Dari gambar 1. dapat dijalaskan penurunan kuantitas dan kualitas populasi manusia dengan asumsi skenario 1 sebagai berikut (interpretasi penyusun):
1) Peningkatan gas rumah kaca di atmosfer bumi menyebabkan terperangkapnya energi panas matahari pada molekul-melekul gas rumah kaca. Akumulasi panas pada setiap molekul ini menyebabkan ruang atmosfer mengalami peningkatan suhu yang merata mengelilingi bumi. Hal ini merupangan fenomena yang diterminologikan sebagai pemanasan global.
2) Pemanasan global ini menyebabkan bongkahan es di kutub mengalami pencairan sehingga volume air laut mengalami peningkatan sehingga volume air pada saat pasang dan surut mengalami rentang yang ekstrim pula. Pencairan es menjadi air diikuti perbedaan suhu yang ekstrim sehingga terbentuk pergolakan arus air di laut diikuti dengan pergeseran materi dan energi yang berlebih sehingga arah, kecepatan dan volume berubah-ubah baik pada badan air maupun permukaan air sehingga membentuk angin di permukaan laut sebagai residu energi gerak air di laut. Sementara di teresterial yang mengalami pemanasan berlebih menyebabkan pergeseran energi angin karena perbedaan panas ekstrim antara teresterial dan kostal. Hal ini merupakan fenomena angin darat. Pembentukan energi angin baru dari darat dan pembentukan energi angin laut mengalami benturan tambahan di atmosfer sehingga energi berupaya merubah bentuknya sebagai gejala-gejala alam yaitu; hembusan angin berlebihan hingga membentuk taufan, hujan berlebihan hingga membanjir, panas berlebihan hingga kekeringan, serta kegagalan-kegagalan pembentukan salju. Gejala-gejala tak teratur ini berakibat pada perubahan iklim di bumi. Pergeseran jadwal musim kemarau, musim dingin, musim hujan, musim salju dan musim semi.
3) Perubahan musim yang seharusnya teratur pada setiap ruang yang terpisah garis iklim (tropis, subtropis dan kutub) menyebabkan perubahan-perubahan pula pada ekosistem, komunitas dan habitat yaitu berupa rentang suhu ekstrim, Kuantitas dan kualitas air menurun, Komposisi udara pernafasan tidak wajar, Kompetisi ruang teresterial dan kostal
4) Perubahan parameter abiotik yang ekstrim menyebabkan ekosistem/komunitas/habitat tidak nyaman lagi dihuni oleh manusia sehingga hal tersebut berakibat pada penurunan kuantitas dan kualitas populasi manusia dengan tiga skenario;
• Daya tahan tubuh individu menurun barakibat pada penurunan produktivitas populasi
• Daya tahan tubuh menurun berakibat pada peningkatan mortalitas populasi
• Daya tahan tubuh menurun berakibat pada penurunan natalitas populasi
Demikian uraian skenario 1. Dan selanjutnya Skenario 2. diuraikan sebagai berikut.


Gambar 2. Ilustrasi scenario; perubahan rantai makanan menghimpit populasi manusia (Sumber: ilustrasi penyusun).

Dari Gambar 2. Dapat dijalaskan penurunan kuantitas dan kualitas populasi manusia dengan asumsi skenario 2 sebagai berikut:
1) Peningkatan gas rumah kaca di atmosfer bumi menyebabkan terperangkapnya energi panas matahari pada molekul-melekul gas rumah kaca. Akumulasi panas pada setiap molekul ini menyebabkan ruang atmosfer mengalami peningkatan suhu yang merata mengelilingi bumi. Hal ini merupangan fenomena yang diterminologikan sebagai pemanasan global.
2) Pemanasan global ini menyebabkan bongkahan es di kutub mengalami pencairan sehingga volume air laut mengalami peningkatan sehingga volume air pada saat pasang dan surut mengalami rentang yang ekstrim pula. Pencairan es menjadi air diikuti perbedaan suhu yang ekstrim sehingga terbentuk pergolakan arus air di laut diikuti dengan pergeseran materi dan energi yang berlebih sehingga arah, kecepatan dan volume berubah-ubah baik pada badan air maupun permukaan air sehingga membentuk angin di permukaan laut sebagai residu energi gerak air di laut. Sementara di teresterial yang mengalami pemanasan berlebih menyebabkan pergeseran energi angin karena perbedaan panas ekstrim antara teresterial dan kostal. Hal ini merupakan fenomena angin darat. Pembentukan energi angin baru dari darat dan pembentukan energi angin laut mengalami benturan tambahan di atmosfer sehingga energi berupaya merubah bentuknya sebagai gejala-gejala alam yaitu; hembusan angin berlebihan hingga membentuk taufan, hujan berlebihan hingga membanjir, panas berlebihan hingga kekeringan, serta kegagalan-kegagalan pembentukan salju. Gejala-gejala tak teratur ini berakibat pada perubahan iklim di bumi. Pergeseran jadwal musim kemarau, musim dingin, musim hujan, musim salju dan musim semi.
3) Perubahan musim yang seharusnya teratur pada setiap ruang yang terpisah garis iklim (tropis, subtropis dan kutub) menyebabkan perubahan-perubahan pula pada ekosistem, komunitas dan habitat yaitu berupa rentang suhu ekstrim, Kuantitas dan kualitas air menurun, Komposisi udara pernafasan tidak wajar, Kompetisi ruang teresterial dan kostal
4) Perubahan parameter abiotik yang ekstrim menyebabkan ekosistem/komunitas/habitat tidak nyaman lagi dihuni oleh populasi berbagai spesies organism sehingga hal tersebut berakibat pada terpicunya naluri berbagai populasi untuk mempertahankan kelangsungan populasinya dengan cara beradaptasi terhadap kondisi lingkungan dan meninggalkan kepatutannya dalam rantai makanan dan jejaring makanan dengan skenario sebagai berikut;
• Populasi-populasi dalam rantai makanan mono to mono (satu mangsa satu pemangsa), mengalami punah/hilang dalam habitat secara perlahan. Punah karena tidak ada yang dimangsa
• Populasi-populasi dalam rantai makanan mono to multy (satu mangsa banyak pemangsa), mengalami punah/hilang dalam habitat secara cepat. Punah karena tidak ada yang dimangsa dan beragam yang memangsa.
• Populasi-populasi dalam rantai makanan multi to mono (banyak mangsa satu pemangsa), mengalami peningkatan populasi. Meningkat karena masih beragam yang dimangsa dan sedikit yang memangsa.
• Populasi-populasi dalam rantai makanan multy to multy (banyak mangsa banyak pemangsa), mengalami keseimbangan populasi. Seimbang karena masih beragam yang dimangsa dan beragam yang memangsa.
Dengan demikian, populasi organisme yang menjalankan kepatutan rantai makanan multy to mono akan mengancam keseimbangan populasi manusia. Oleh sebab itu, manusia sebagai mahluk yang mampu berpikir, seharusnya melakukan upaya mitigasi dan adaptasi agar keseimbangan biotik dan abiotik dalam habitat dapat pulih kembali.
Lemahnya atau gagal berfungsinya sel darah putih manusia disebabkan oleh menurunnya kuantitas dan kualitas asupan air, kuantitas dan kualitas pangan, kuantitas dan kualitas udara pernafasan dan kuantitas dan kualitas habitat sehingga dapat mengakibatkan kematian individu dalam populasi sehingga mortalitas rate semakin meningkat. Bahkan dapat menyebabkan kegagalan fungsi reproduksi yang berakibat pada natalitas rate populasi semakin menurun. Jika natalitas rate rendah, mortalitas rate rendah maka populasi renggang dan anggota populasi jarang berganti. Jika natalitas rate tinggi, mortalitas rate tinggi maka populasi padat dan anggota populasi sering berganti. Jika natalitas rate rendah, mortalitas rate tinggi maka populasi renggang dan anggota populasi menghilang sehingga gagal regenerasi. Situasi terakhir ini merupangan fenomena punah, populasi menghilang dalam komunitas. Ini merupangan dampak perubahan iklim yang paling parah yang seharusnya hanya berlaku saat kiamat tiba.
Preposisi ini didukung sebuah contoh; Lahan gambut yang terbakar, mengalami kesulitan untuk pulih karena miskin unsur hara dan air. Sehingga hanya terjadi suksesi spesies tertentu dan sangat lama diikuti kehadiran organisme lainnya. Habitat mengalami dominasi populasi tertentu saja (Wibisono, Siboro, dan Suryadiputra, 2005)
Penurunan kuantitas dan kualitas air, pangan, udara dan ruang hidup dalam komunitas disebabkan oleh kompetisi antar komunitas karena kebutuhan anggota ragam populasi dalam komunitas semakin meningkat, berakibat pada hilangnya komunitas tertentu dalam ekosistem. Kompetisi antar populasi dalam komunitas berakibat pada hilangnya populasi tertentu dalam komunitas. Kompetisi antar individu dalam populasi berakibat pada hilangnya individu tertentu dalam populasi. Kausalitas tersebut merupangan fenomena alamiah dalam keseimbangan ekosistem.
Konsep keytone species yang diperkenalkan pertama sekali pada tahun 1969 oleh Profesor Robert T. Paine seorang zoology mendiskripsikan; keberadaan suatu spesies yang berperan penting membangun tingkat keragaman anggota komunitas menuju keseragaman jenis atau menuju keberagaman jenis (Kasry, 2007). Keytone spesies predator jika spesies ini tergolong organisme heterotropik polyphagus maupun monophagus yang berfungsi menurunkan ledakan populasi spesies tertentu dan berdampak meningkatnya ledakan populasi spesies lain pula sehingga rantai makanan dalam jejaring makanan mengalami dinamika yang besar. Dan jika keytone spesies adalah organisme autotropik ia akan memusnahkan populasi autotropik lainnya dengan cara perebutan ruang dan makanan yang diterpa sinar matahari sehingga berdampak pada kepunahan pada organisme tropik tingkat dua yang monophagus dan peledakan organisme tingkat dua yang polyphagus atau monophagus yang bersimbiosis dengan keytone spesies
Keytone spesies tersebut kehadirannya menjadi terpaksa karena dipicu oleh rangkaian kejadian abiotik sebagai berikut; kecepatan abrasi pantai meningkat drastis, Ombak laut semakin tinggi, jadwal pasang-surut tidak dapat diprediksi, angin laut dan angin darat bertiup tidak seimbang hingga membentuk badai. Biota laut mengalami perubahan prilaku mengikuti perubahan suhu air dan arah gerak air dan diperkirakan mempercepat proses perubahan zat kimia air laut sebelum waktunya. Intrusi air laut meningkat karena hutan mangrove dan lahan gambut tak mampu menahan desakan air laut ke daratan, lahan gambut kehilangan daya serap air karena telah dipenuhi garam.
Hal ini didukung oleh uraian Kasry (2007) yang mencontohkan, naiknya suhu air laut menyebabkan ledakan populasi bintang laut (Pisasater ochraceous) yang memusnahkan koloni terumbu karang karena mengkonsumsi koloni terumbu karang secara berlebihan. Selanjutnya terjadi cascade effect, yaitu hilangnya populasi lain yang bersimbiosis dengan koloni terumbu karang. cascade effect juga terjadi kerana fenomena bleaching (kematian koloni terumbu karang karena habitatnya sudah tidak ideal).
Perbedaan suhu yang ekstrim antara lautan dan daratan, antara daratan satu dengan lainnya bahkan antar kawasan perairan berdampak pada kecepatan dan arah tiupan angin yang selalu berubah sehingga siklus hidrologi tidak teratur menyebabkan frekwensi dan curah hujan tidak wajar di banyak tempat. Akibatnya banjir dan kekeringan bisa terjadi dalam kurun waktu relatif berdekatan. Perbedaan suhu ekstrim ini juga memicu munculnya angin ribut di berbagai tempat yang memporak-porandakan infrastruktur bahkan hingga menelan korban jiwa manusia dan organisme lainnya. Banjir, kekeringan, angin ribut dan kegagalan produksi komunitas, memicu ketidak layakan habitat, sehingga tercapai situasi kepunahan populasi hingga mengganggu stabilitas rantai makanan dan jejaring makanan. Dan pada akhirnya akan tercapai situasi kematian individu dalam populasi tanpa kompetisi. Bumi akan mengalami suksesi oleh organisme autotropik toleransi tinggi untuk memperbaiki kembali atmosfer dalam jangka waktu yang sangat lama hingga muncul kehidupan baru ditandai dengan hadirnya organisme heterotropik tingkat pertama, kedua dan seterusnya.
Situasi ini digambarkan oleh Diposaptono (2008) bahwa tragedi Tsunami tahun 2005 menelan korban jiwa lebih dari 200.000 orang hanya di Nangro Aceh Darusalam, Indonesia. Sedangkan menurut Jeremy Turner, Kepala Pelayanan Teknologi Perikanan PBB, FAO, bahwa Tsunami yang menghantam 7 negara pesisir di dunia yang diperkirakan oleh Pusat Informasi PBB, UNIC, mengalami kerugian sebesar USD 500 juta, termasuk di dalamnya perhitungan; 111 ribu kapal hancur dan rusak, 36 ribu mesin hilang dan 1,7 juta unit peralatan penangkapan ikan rusak. Ini sebuah gambaran proses pembantaian populasi manusia oleh bencana alam non bencana ekologi. Bayangkan kalau keduanya terjadi berbarengan. Sebagai ilustrasi tambahan; bila Tsunami terjadi di teluk Jakarta sementara hujan terjadi di Bogor, maka Jakarta akan mengalami penurunan populasi manusia dalam waktu yang sangat singkat.

III. ALIRAN MATERI DAN ENERGI DALAM EKOSISTEM BUMI
Keseimbangan bumi bergantung pada interaksi tiga zat penting yaitu; zat padat, zat cair dan gas. Pada dasarnya, ketiga zat atau materi ini kondisi hakikinya adalah diam. Namun karena semua materi menyimpan energi potensial atas keberadaan energi gravitasi bumi maka semua materi berpotensi untuk tidak diam. Jika ada sedikit usikan yang lebih besar dari kondisi diamnya maka materi dalam kondisi bergerak dan berusaha untuk kembali diam. Usaha kembali diam inilah yang menyebabkan lepasnya selisih energi, lepasan ini sesegera mungkin menaungi materi lain yang juga dalam kondisi diam. Namun jika materi tidak mampu melepaskan energi yang menaunginya maka alternative peristiwanya adalah materi akan berubah wujud hingga keseimbangan energi untuk diam kembali tercapai. Menurut uraian Kasry (2007), pada ekosistem dapat terjadi perubahan wujud zat yaitu; 1) padat menjadi cair, 2) padat menjadi gas, 3) padat menjadi padatan lain, 4) cair manjadi padat, 5) cair menjadi gas, 6) cair menjadi cairan lain, 7) gas menjadi padat, 8) gas menjadi cair, 9) gas menjadi gas lain. Perubahan wujud ini selalu dibarengi dengan aliran energi dan dispersi energi menjadi panas yang dilepas sebagai upaya mencapai keseimbangan materi.
Kondisi diam dan kondisi bergerak atau berubah suatu materi dipengaruhi atas keberadaan tiga basis energi yaitu; energi stagnasi, energi potensial dan energi kinetik. Energi stagnasi adalah energi yang manaungi sehingga materi dalam kondisi keseimbangan hakiki untuk diam. Energi potensial adalah energi tertoleransi oleh materi dalam kondisi diam dan jika terusik oleh energi kinetik maka energi potensial akan terlepas meninggalkan materi tersebut hingga tercapai situasi energi stagnasi dalam materi. Energi kinetik adalah energi potensial yang bergerak berpindah ke materi lain hingga materi yang diterpa energi tersebut mencapai keseimbangan baru menuju diam baik dinaungi hanya oleh energi stagnasi maupun bersama energi potensial.
Menurut uraian Azam (2008), air memiliki beberapa sifat yaitu mencari tempat yang lebih rendah dan memenuhi ruang setangkup dengan bentuk ruang yang tersedia, sifat ini dipengaruhi oleh gaya gravitasi bumi. Air tersebut dinaungi gaya potensial gravitasi bumi. Pada malam hari saat bulan tepat tegak lurus dengan air di laut, energi potensial gravitasi bumi dalam volume air tersebut diusik oleh energi potensial gravitasi bulan sehingga terbentuk energi kinetik yang mampu memindahkan volume air tidak berada pada tempat yang lebih rendah. Karena bulan terus berevolusi mengakibatkan penurunan energi mengikuti vektor gaya tarik bumi-bulan. Saat energi potensial bulan tidak unggul lagi maka air bergerak mundur ke titik awal namun membawa kelebihan energi sehingga terjadi benturan dengan entitas lain dibelakangnya. Air bergerak mondar-mandir hingga energi terserap oleh entitas lain dan air kembali diam.
Hukum termodinamika 1 yang menyatakan energi tidak dapat punah melainkan berubah bentuk, dapat dipertahankan kesahihannya karena bumi memang tidak pernah kehabisan energi atau dalam kondisi selalu memiliki energi potensial, tidak terjadi kondisi energi stagnasi. Hal ini disebabkan oleh sistem tata surya yang memberikan reaksi berantai (chain reaction) sebagai berikut; Energi nuklir dalam matahari menghasilkan panas sehingga mendorong planet bumi dan planet lainnya menjauh dari matahari, di belakang bumi terdapat ruang hampa yang memaksa bumi dan planet lainnya mendekati matahari. Seluruh planet karena dikenai gaya dorong dari dua sisi menyebabkan planet-planet mengitari matahari (revoluasi) dalam orbitnya, kondisi menggelinding pada ruang hampa menyebabkan planet-planet berotasi, fenomena inipun menjelaskan mengapa planet-planet cenderung berbentuk bulat pejal. Kondisi berevoluasi dan berotasi inilah yang menjadi generator energi dalam bumi dan atmosfer. Dengan demikian bumi selalu memiliki energi kinetik abadi yang selalu mengusik materi-materi dalam bumi dan membentuk gaya gravitasi bumi sebagai energi potensial yang tercipta oleh vektor energi potensial yang terbentuk dari energi kinetik revolusi bumi dan rotasi bumi.
Menurut Haryanto (2007), gaya tarik matahari terhadap benda langit di sekitarnya dan gaya tolak benda langit terhadap matahari menyebabkan terbentuknya vector elips yang menjadi lintasan benda-benda tersebut mengelilingi matahari. Ada saatnya matahari dan benda planet yang mengitarinya berada berdekatan dan ada saatnya berjauhan. Perubahan jarak ini disertai dengan perubahan kecepatan perubahan massa benda pada kondisi tertentu sehingga tercapai siutasi dimana yang berubah-ubah hanya energi potensial ke energi kinetik silih berganti pada massa benda yang sama.
Siklus energi kinetik inilah yang membangun fenomena alam, dimana materi berpotensi bergerak vertikal karena keberadaan gaya gravitasi bumi, dan tidak ada gerak horizontal karena tidak terjadi rotasi bumi relatif terhadap atmosfer. Gerak horizontal materi di bumi, hakiknya didapat dari dispersi distribusi energi panas yang tidak merata di atmosfer dan permukaan bumi. Panas sebagai energi potensial yang dibawa oleh sinar matahari diserap oleh materi-materi berdaya serap berbeda sehingga muncul perbedaan suhu dari satu materi dengan materi lain. Perbedaan suhu inilah yang mengakibatkan perpindahan energi dalam bentuk angin yang bergerak horizontal dan mengakibatkan materi bergerak horizontal pula karena dinaungi energi kinetik dan didesak oleh gaya gravitasi hingga mempercepat proses tercapainya keseimbangan materi untuk kembali diam karena tercapai kondisi dinaungi energi stagnasi dan atau energi potensial.
Preposisi ini dapat dicontohkan dengan fenomena umum yaitu; pada siang hari teresterial bersuhu lebih panas dan bertekanan udara rendah dibandingkan perairan sehingga angin berhembus dari perairan menuju darat. Sedangkan pada malam hari saat perairan belum sempurna mengalami penurunan suhu sedangkan teresterial telah mengalami pendinginan dan tekanan udara meningkat, maka angin berhembus menuju perairan. Fenomena ini dimanfaatkan oleh kapal-kapal tradisional yang masih menggunakan layar untuk memanfaatkan arah gerak angin (Murdiyanto, 2004).
Cahaya merupangan media transfer energi panas yang menjadi pilihan pertama dan pilihan terakhir oleh energi panas saat melakukan rambatan energi ke materi lain. Energi potensial gravitasi berkecenderungan mendorong materi untuk terlingkupi energi stagnasi, sedangkan energi panas berkecenderungan mendorong materi untuk terlingkupi energi kinetik. Cahaya matahari menyinari bumi membawa energi panas dari reaksi nuklir di matahari. Kehadiran cahaya beserta energi panas ini menciptakan reaksi berantai (chain reaction) yang mendukung kehidupan di bumi sebagai berikut; Lapisan ozon adalah lapisan di atmosfir pada ketinggian 19-48 km (12-30 mil) di atas permukaan Bumi yang mengandung molekul-molekul Ozon. Konsentrasi di lapisan ini mencapai 10 ppm dan berbentuk akibat pengaruh sinar Ultraviolet Matahari terhadap molekul-molekul oksigen. Peristiwa ini terjadi semenjak berjuta-juta tahun yang lalu, tetapi campuran molekul-molekul nitrogen yang muncul di atmosfer menjaga konsentrasi ozon relatif stabil. Ozon adalah gas beracun sehingga bila berada dekat permukaan tanah akan berbahaya bila terhisap dan dapat merusak paru-paru. Sebaliknya, lapisan ozon di atmosfer melindungi kehidupan di Bumi karena ia melindunginya dari radiasi sinar ultraviolet yang dapat menyebabkan kanker djwie.wordpress.com/2008/11/24/lapisan-ozon.
Gas rumah kaca di atmosfer bumi menyaring cahaya dan panas agar tidak seluruhnya ke permukaan bumi, penyaringan dilakukan dengan dua cara yaitu; menyerap dan memantulkan kembali ke ruang angkasa. Penyerapan berakibat pada penghangatan atmosfer bumi dan pemantulan cahaya ultra violet ke angkasa oleh lapisan ozon berakibat pada penghindaran dari tingginya suhu dan kecerahan berlebih di bumi situasi ini menciptakan habitat menjadi layak bagi kehidupan di bumi. Cahaya yang diteruskan ke bumi, dimanfaatkan organisme autotropik untuk memproduksi karbohidrat dalam biomas, menyimpan energi potensial dan memproduksi oksigen untuk udara. Dalam proses produksi ini, organisme autoropik menyerap CO2 dan H2O. Dengan demikian melalui proses fotosintesis organisme autotropik dalam reaksi berantai tersebut otomatis membangun keseimbangan konsentasi air di bumi dan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer. Selain itu juga organisme outotropik ini menyiapkan dirinya menjadi bagian dari rantai konsumsi bagi organisme heterotropik.
Preposisi ini menjadi logis karena pada kenyataanya ekosistem bumi dalam membangun keseimbangan biotik dan abiotiknya selalu berupaya menjamin berputarnnya siklus carbon, siklus hydrogen dan siklus oksigen dalam biomas tingkat produsen, biomas tingkat konsumen dan biomas tingkat detritus. Dan Organisme autotrop yang kita sebut produsen adalah komponen biotic yang mampu merubah cahaya menjadi energi potensial bagi heterotrop, menyeimbangkan CO2 dan O2 di udara, Menyeimbangkan rantai karbon dan H2O dalam biomas dan tanah. (Kasry, 2007).
Keberadaan revolusi dan rotasi bumi serta cahaya matahari dan energi panasnya membangun efek berantai yaitu gerak vertikal dan horizontal bagi unsur abiotik di bumi serta aliran energi pendukung kehidupan unsur biotik. Sehingga di ekosistem bumi terdapat gejala-gelaja alam sebagai akibat dari proses pencapaian keseimbangan energi yaitu; pergerakan air, pergerakan udara, pergerakan tanah/lempengan dan fluktuasi kualitas/kuantitas biomas. Dan bencana alam seperti, banjir, kekeringan, longsor dan angin ribut merupangan gejala-gejala alam dalam rangka mencapai keseimbangan ekosistem. Namun jika gejala-gejala ini muncul berlebihan dan tidak wajar maka dapat diprediksi sebagai bencana ekologi.
Preposisi ini sesuai dengan ulasan bahwasanya Gempa dan Tsunami di Indonesia, Thailand, India, Maladewa, Myanmar, Somalia dan Srilanka pada tahun 2005 dan diikuti bencana yang sama pada tahun 2006 dan 2007 di tempat lainnya adalah bencana alam yang memporak porandakan wilayah pesisir. Namun dampak bencana alam semakin meluas dikarenakan pembangunan berlebihan di kawasan pesisir yang tidak mempertimbangkan daya dukung, daya tampung dan daya tahan terhadap bencana. Semakin meluasnya dampak bencana alam tersebut dipicu oleh gejala-gejala bencana ekologi yang terlanjur terbentuk oleh ulah manusia sendiri tanpa disadari (Diposaptono, 2008).

IV. UPAYA MITIGASI DAN ADAPTASI TERHADAP PERUBAHAN IKLIM

Meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer disebabkan oleh perkembangan peradaban manusia yang mendorong penggunaan alat-alat produksi dan pembukaan lahan pertanian yang menghasilkan residu berupa gas-gas rumah kaca, utamanya karbon dioksida CO2. Pemanfaatan lahan pertanian dan peternakan meresidu metana (NH4) dan nitrogen oksida (N2O). Penggunaan produk-produk aerosol, freezer dan air conditioner yang meresidu hydrofluorocarbons (HFCs). Pelepasan gas ini melebihi ambang batas sehingga kepadatan gas meningkat di atmosfer.
Disebut gas rumah kaca karena gas ini beranalogi dengan sifat ruang kaca yang menyerap panas dan memantulkan cahaya. Oleh sebab itu peningkatan konsentrasi ini merubah atmosfer yang bersuhu hangat menjadi bersuhu panas. Sehingga pemanasan merata di atmosfer diterminologikan sebagai pemanasan global (Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, 2008).
Pemanasan global menyebabkan pencairan es di kutub bumi. Sejatinya, kutub bumi merupakan salah satu alat penyeimbang suhu air laut dan suhu udara di biosfer. Namun karena pemanasan global fungsi es kutub menjadi menurun bahkan menjadi penyebab meningkatnya permukaan air laut karena volume air secara global meningkat (Meiviana, Sulistiowati, dan Soejachmoen, 2004).
Selanjutnya Meiviana at al (2004) menguraikan, peningkatan volume air di bumi menjadi penyebab kompetisi ruang oleh tiga materi utama bumi yaitu perairan, daratan dan udara karena dua entitas berikutnya mengalami pemuaian oleh pemanasan global. Hal inilah yang memicu terjadinya perubahan iklim. Fenomena ini selanjutnya diikuti perebutan ruang oleh materi lainnya baik biotic maupun abiotik. Dan secara alami terjadi juga perebutan energi biomas dalam peristiwa jejaring makanan dikarenakan perubahan prilaku entitas biotik. Sehingga terjadi dominasi populasi yang diikuti ancaman pemunahan populasi organisme. Keseimbangan ekologi terganggu, terjadi bencana alam dan bencana ekologi yang berkausalitas timbal-balik. Keseimbangan populasi manusia turut terancam jika tidak melakukan mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim.
Kelebihan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer sebagai pemicu dari pemanasan global hingga kompetisi biotik dan abiotik dalam habitat. Sehingga masyarakat dunia yang terepresentasi dalam Organisasi Perserikatan Bangsa-bangsa sejak tahun 1992 hingga saat ini terus menegosiasikan strategi mitigasi dan adaptasi terhadap dampak perubahan iklim (Ginoga, et al, 2008)
Mitigasi dalam kontek penanggulangan perubahan iklim adalah upaya penurunan konsentrasi gas rumah kaca. Tiga cara yang hingga saat ini terformulasi yaitu; 1) Menyerap gas rumah kaca dengan cara memanfaatkan fisiologi tumbuhan berklorofil yang menyerap CO2 saat memproduksi zat pati, tersimpan dalam biomas, melepaskan O2 dan menyerap H2O dari tanah melalui fungsi akar. 2) Menimbun gas rumah kaca dalam biomas dan tanah dengan cara mengkonservasi atau penundaan pemanfaatan. 3) Mengurangi pelepasan gas rumah kaca dengan cara menggunakan bahan bakar alternative, menggunakan energi alternative dan hingga meniadakan penggunaan bahan bakar konvensional sebagai energi. Sedangkan adaptasi dalam kontek penanggulangan perubahan iklim adalah strategi penyesuaian diri manusia terhadap dampak yang muncul dari perubahan iklim yaitu; bencana alam, bencana ekologi. Tiga adaptasi yang harus dipersiapkan yaitu; adaptasi peradaban, adaptasi kepribadian, adaptasi fisiologi dan adaptasi genetic (Rufi'i, 2008).
Adaptasi peradaban adalah upaya adaptasi dengan cara membangun pengetahuan etika dan estetika sehingga infrastruktur peradaban, interaksi social-ekonomi-budaya-politik yang terbangun dimasa mendatang dapat mengantisipasi ketidak pastian bencana alam dan bencana ekologi. Pembangunan pengetahuan etika dan estetika tersebut diarahkan menuju perlindungan terhadap keseimbangan populasi manusia di bumi. Oleh sebab itu peradaban adaptasi, dengan keterbatasan kuantitas dan kualitas air, udara dan daratan, akan menuju pada upaya efisiensi dan efektifitas pemanfaatan sumberdaya tersebut.
Adaptasi peradaban manusia di dunia terhadap perubahan iklim di mulai sejak tahun 1992, dalam acara KTT Bumi di Rio De Janeiro menyepakati dibentuknya UNFCCC. Sejak saat itu, setiap tahunnya negara-negara berkumpul untuk menegosiasikan upaya mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim. Protokol Kyoto yang di tandatangani pada pertemuan ke 3 yang disebut Conference of parties (COP3-1995 di Jepang) merupakan babak baru adaptasi peradaban yang ditandai dengan perubahan kebijakan pengembangan industri yang lebih efisien dalam mengemisi gas buang yang membahayakan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer (Meiviana, et al, 2004)
Adaptasi kepribadian adalah upaya adaptasi individu manusia dalam rangka menyesuaikan diri terhadap lingkungan hidupnya yang baru yaitu; suhu udara yang ekstrim, bencana yang silih berganti hadir, keterbatasan asupan air, udara dan pangan serta keharusan untuk efiensi energi dan emisi. Situasi ini akan membangun kepribadian baru yang terlihat dari tata cara berpakaian, tatacara mencari nafkah, tatacara berinteraksi, tatacara berkonsumsi, tatacara menyelamatkan diri dan tatacara lainnya yang membentuk kepribadian manusia unggul yang memiliki survival rate tinggi.
Setiap rumah tangga dalam berpartisipasi menghadapi perubahan sebaiknya melakukan penghematan penggunaan energi seperti; berkonsumsi minus emsi, bermobilisasi minus emisi, berekreasi minus emisi, bekerja minus emisi serta harus mempersiapkan diri agar selalu menjaga kesehatan dan memiliki kemampuan menyelamatkan diri dari berbagai bencana (Meiviana, et al, 2004).
Adaptasi fisiologi adalah upaya adaptasi organ tubuh manusia dalam rangka menyesuikan kondisi lingkungan yang penuh bencana, penurunan kualitas dan kuantitas air, udara dan pangan. Sehingga survival rate manusia secara biologis cukup tinggi. Selain itu dalam jangka panjang akan terjadi adaptasi genetik dengan skenario; akan lahir bayi-bayi manusia yang memiliki fisik dan fungsi organ tubuh menyesuaikan habitat baru yang penuh dengan keterbatasan air, udara dan pangan serta dipenuhi bencana.
Pada kenyataannya ada perbedaan fisiologi dan morfologi manusia dilihat dari dispersi populasi secara vertikal dari wilayah pantai hingga wilayah pegunungan, manusia habitat pegunungan karena tekanan udara dan minimnya ketersediaan oksigen, paru-parunya beradaptasi hingga efisien memanfaatkan udara untuk metabolisma dengan demikian kemampuan darah sebagai alat transportasi juga turut beradaptasi. Sedangkan dispersi populasi secara horizontal dari wilayah iklim tropis, temperet hingga kutub, terjadi adaptasi mofologis yaitu ukuran fisik tubuh dan sensitifitas kulitnya beradaptasi dengan suhu pada iklim yang berlaku di habitat tersebut walaupun sebagai satu spesies ataupun varietasnya, terlepas dari perdebatan tentang kebenaran teori darwin (Kasry, 2007).

V. PENYIAPAN MODEL MANUSIA UNGGUL

Semua pemerintahan negara-negara di dunia baik yang telah meratifikasi Protocol Kyoto maupun yang belum seperti dua negara adidaya Amerika Serikat dan Australia, telah menyadari dampak perubahan iklim sehingga dengan atau tanpa target Protocol Kyoto, semua harus melakukan mitigasi dan adaptasi demi keselamatan negara dan rakyatnya. Namun apakah jika pemerintahan negara telah melakukannya maka rakyatnya ototamis selamat? Bisa ya jika sistem mitigasi dan adaptasi yang dipersiapkan memang cukup sempurna. Jika tidak, maka populasi manusia di negara tersebut tetap dalam ancaman bencana yang serius. Oleh sebab itu perlu dipersiapkan upaya mitigasi dan adaptasi personal sehingga setiap individu manusia memang mampu berpartisipasi dalam penurunan konsentrasi gas rumah kaca dan beradaptasi pada situasi keterlanjuran terancam bencana.
Untuk masa datang perlu dipersiapkan model manusia unggul yang mampu melakukan dua hal tersebut sehingga populasi manusia survival di muka bumi dalam kondisi habitat yang kurang nyaman.
Model adalah prototype, figure, character, performance suatu sabjek, suatu predikat, maupun suatu objek yang diduplikasi mendekati situasi kondisi aslinya. Permodelan yang umum dilakukan hingga dewasa ini yaitu permodelan fisik dengan skala lebih besar maupun lebih kecil, contohnya sel yang berukuran mikroskopik harus dimodelkan lebih besar hingga kasat mata dan atau kasat raba. Sedang benda antariksa biasanya dimodelkan lebih kecil agar kasat raba. Permodelan yang lebih modern adalah model matematika yang bisa diproyeksikan dengan teknologi computer sehingga skala model lebih beragam sesuai kebutuhan. Seperti yang tertera pada http://id.wikipedia.org/wiki/Model, Model adalah rencana, representasi, atau deskripsi yang menjelaskan suatu objek, sistem, atau konsep, yang seringkali berupa penyederhanaan atau idealisasi. Bentuknya dapat berupa model fisik (maket, bentuk prototipe), model citra (gambar rancangan, citra komputer), atau rumusan matematis.
Penyusunan model selalu diawali dengan menyusun variabel-variabel dari parameter yang ada pada sabjek/predikat/objek yang akan dimodelkan. Parameter tersebut bisa merupakan parameter hasil interpolasi maupun hasil ekstrapolasi. Dalam tulisan ini parameter tersebut diterminologikan sebagai kriteria dan syarat kriteria diterminologikan sebagai indikator. Selanjutnya dalam penyusunan model, dilakukan akumulasi criteria. Berikut ini adalah kriteria dan indikator yang ditawarkan dalam tulisan ini untuk penyusunan model manusia unggul (Tabel 1).

Tabel 1. Kriteria dan indikator kepribadian manusia unggul
Kriteria Indikator
Kepribadian 1. Berkemampuan menyelamatkan diri dari bencana
Kepribadian 2. Memotivasi orang lain untuk membangun kemampuan menyelamatkan diri
Kepribadian 3. Berkemampuan menyelamatkan orang lain dari bencana
Kepribadian 4. Berprilaku menurunkan atau meniadakan emisi dalam penggunaan pesawat sederhana
Kepribadian 5. Memotivasi orang lain untuk menurunkan atau meniadakan emisi dalam penggunaan pesawat sederhana

Dari Tabel 1. tersebut terlihat bahwa criteria yang ditawarkan ada 5 yaitu kepribadian 1, 2, 3, 4 dan 5, masing-masing kriteria memiliki indikator tersendiri dengan batasan yang tegas. Selanjutnya dari tabel kriteria dan indikator, disusun model dengan cara melakukan komulasi bertingkat dan hasilnya adalah seperti berikut ini.
Tabel 2. Kriteria dan indikator penyusunan model manusia unggul

Model Variabel
Model 1. 1) Berkemampuan menyelamatkan diri dari bencana

Model 2. 1) Berkemampuan menyelamatkan diri dari bencana
2) Memotivasi orang lain untuk membangun kemampuan menyelamatkan diri

Model 3. 1)Berkemampuan menyelamatkan diri dari bencana
2)Memotivasi orang lain untuk membangun kemampuan menyelamatkan diri
3)Berkemampuan menyelamatkan orang lain dari bencana

Model 4. 1)Berkemampuan menyelamatkan diri dari bencana
2)Memotivasi orang lain untuk membangun kemampuan menyelamatkan diri
3)Berkemampuan menyelamatkan orang lain dari bencana
4)Berprilaku menurunkan atau meniadakan emisi dalam penggunaan pesawat sederhana
Model 5. 1)Berkemampuan menyelamatkan diri dari bencana
2)Memotivasi orang lain untuk membangun kemampuan menyelamatkan diri
3)Berkemampuan menyelamatkan orang lain dari bencana
4)Berprilaku menurunkan atau meniadakan emisi dalam penggunaan pesawat sederhana
5)Memotivasi orang lain untuk menurunkan atau meniadakan emisi dalam penggunaan pesawat sederhana

Dari tabel 2. tersebut terlihat lima model manusia unggul yang berurut dan menggambarkan tingkat kualitas model manusia dalam rangka mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim. Pengembangan model ini memiliki asumsi yang disusun dalam bentuk kausalitas sebagai berikut:

1) Jika model 1. Lebih berkembang dalam populasi maka yang bukan model 1. Akan musnah dalam bencana
2) Jika model 2. Lebih berkembang dalam populasi maka yang bukan model 1. Akan kecil peluang musnah dalam bencana
3) Jika model 3. Lebih berkembang dalam populasi maka yang bukan model 1. Akan besar peluang selamat dari bencana
4) Jika model 4. Lebih berkembang dalam populasi maka yang bukan model 1. Akan besar peluang selamat dari bencana dan terjadi proses mitigasi tingkat lokal
5) Jika model 5. Lebih berkembang dalam populasi maka yang bukan model 1. Akan besar peluang selamat dari bencana dan terjadi proses mitigasi tingkat regional
Demikian model ini disusun sebagai landasan berpikir penyusunan proposal penelitian di masa mendatang oleh pihak yang tertarik melakukan alternatif dalam upaya mengahadapi dampak perubahan iklim sebagai antisipasi jika pada kenyataannya target penurunan emisi yang ditetapkan dalam Protokol Kyoto tidak bisa dicapai oleh negara-negara partisipannya sehingga pada Converence Of Parties ke 18 tahun 2012 (COP 18-UNFCCC, 2012) perlu disusun agenda alternative yaitu upaya mitigasi dan adaptasi oleh individu manusia, sehingga konsep perdagangan karbon akan memberlakukan skema sertifikasi manusia unggul yang berpartisipasi dalam rangka penurunan konsentasi gas rumah kaca.



DAFTAR PUSTAKA

Azam. 2008. Akrab dengan dunia IPA. Serangkai Pustaka Mandiri, Solo.
Ginoga, K. L, A. N. Ginting, dan A. Wibowo, (Eds). 2008. Isu pemanasan Global, UNFCCC, Kyoto Protokol dan Peluang Aplikasi A/R CDM. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Jakarta.
Diposaptono, S. 2008. Hidup Akrab dengan Gempa dan Tsunami., Sarana Komunikasi Utama, Bogor.
HYPERLINK "http://djwie.wordpress.com/2008/11/24/lapisan-ozon/" djwie.wordpress.com/2008/11/24/lapisan-ozon . 28-06.2009
Haryanto. 2007. Sains untuk Sekolah Sasar Kelas V. Gelora Aksara Pratama, Jakarta.
Kasry, A. 2007. Dasar-Dasar Ekologi dan Lingkungan Hidup untuk Sains Ilmu Lingkungan. Ekologi dan Lingkungan Hidup. Laboratorium Ekologi Perairan, Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Riau, Pekanbaru.
Kasry, A. 2009a. Dampak Pemanasan Global Terhadap Perubahan Iklim. Peringatan Hari Lingkungan Hidup Se Dunia Tahun 2009 tanggal 18 Juni 2009 (p. 9). Badan Pengendalian Dampak Lingkungan, Pemda Kabupaten Rokan Hilir, Bagan Siapi-api.
Kasry, A. 2009b. Menyelamatkan Ekosistem Bumi. Riau Pos. Pekanbaru,
Meiviana, A., Sulistiowati, D. R., dan Soejachmoen, M. H. 2004. Bumi Makin Panas, Ancaman Perubahan Iklim di Indonesia. Yayasan Pelangi, Jakarta.
Ministry of The Environment, Japan. 2005. Panduan Mekanisme Pembangunan Bersih di Indonesia. (electronic). (G. Helten, Ed., & C. I., Trans.) Institute for Global Environmental Strategies, Jakarta.
Murdiyanto, B. 2004. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Pantai. Cofish Project, Jakarta.
Najiati, S., Agus, A., & Suryadiputra, I. N. 2005a. Pemberdayaan Masyarakat di Lahan Gambut. Wetland International-IP, Bogor:
Najiati, S., Muslihat, L., & Suryadiputra, I. N. 2005b. Panduan Pengelolaan lahan gambut untuk pertanian berkelanjutan. Wetland International-IP, Bogor.
Noor, Y. R., & Heyde, J. 2007. Pengelolaan Lahan Gambut Berbasis Masyarakat di Indonesia. Wetland International-IP, Bogor:
Rufi'i. 2008. Glossary of Climate Change acronyms. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Jakarta.
Suryadiputra, I. N., Dohong, A., Wibisono, S. R., Muslihat, L., Lubis, I. R., Hasudungan, F., et al. 2005. Panduan Penyekatan Parit dan Saluran di Lahan Gambut Bersama Masyarakat. Wetland International-IP, Bogor.
Wibisono, I. T., Siboro, L., & Suryadiputra, I. N. 2005. Panduan Rehabilitasi dan Teknik Silvikultur di Lahan Gambut. Wetlands International-IP, Bogor:
Yayasan Pelangi. 2006. Perubahan iklim. Brosur. Yayasan Pelangi, Jakarta.


Posted under real circumstance, source will be published and will not claimed as its own writing

Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Adat

Oleh : Jomi Suhendri. S*

Dalam banyak kasus, kekayaan hutan alam Indonesia seringkali menimbulkan konflik di tengah masyarakat, baik konflik antara pemerintah dengan masyarakat maupun konflik antara masyarakat dengan masyarakat itu sendiri. Dari sekian banyak konflik yang sering mencuat ke permukaan, konflik yang berkaitan dengan pengelolaan hutan merupakan hal yang paling sering terjadi.

Dampak dari konflik itu, tak jarang menimbulkan berbagai dampak yang secara langsung dirasakan oleh masyarakat itu sendiri, seperti hilangnya akses masyarakat adat dalam pengelolaan hutan. Padahal, selama berabad-abad mereka telah menggantungkan kehidupannya pada hutan dan kekayaan yang terkandung di dalamnya. Berangkat dari persoalan itulah, semestinya pemerintah harus mendorong lahirnya kebijakan pengelolaan hutan yang berbasiskan masyarakat.

Di Sumatera Barat (Sumbar), sistem pengelolaan hutan berdasarkan kearifan lokal dan diatur menurut ketentuan hukum adat setempat telah lama ada. Dalam hukum adat Minangkabau, hal itu dikenal dengan istilah ‘tanah ulayat’. Tanah ulayat secara sederhana bisa diartikan sebagai satu kesatuan wilayah yang mempunyai hak, baik itu hak ulayat kaum, hak ulayat suku maupun hak ulayat nagari. Tanah ulayat bisa berupa hutan maupun parak (kebun), sawah dan fungsi lainnya, yang secara arif difungsikan oleh masyarakat adat di Sumbar sesuai dengan kebutuhan dan ekologi.

Konsep pengelolaan hutan seperti itu sebenarnya sudah ada dalam masyarakat adat yang diwariskan secara turun temurun. Bahkan, hingga saat ini, konsep pengelolaan hutan yang berdasarkan pada kearifan lokal ternyata mampu membuktikan kalau pengelolaan yang berbasiskan pengalaman, pengetahuan dan teknologi lokal mampu meningkatkan ekonomi masyarakat, serta menjaga fungsi ekologi hutan dan tidak melulu eksploitatif.

Kita bisa melihat konsep pengelolaan yang dilakukan oleh masyarakat adat di Koto Malintang, Kabupaten Agam, Sumbar. Di daerah ini, sistem pengelolaan hutannya dikenal dengan istilah ‘parak’, istilah yang dikenal luas di Minangkabau. Parak di Koto Malintang ini menghasilkan hasil hutan yang khas, baik untuk dijual maupun untuk kebutuhan harian, termasuk kayu bangunan, kayu bakar beserta hasil hutan ikutan seperti buah hutan liar dan sayuran, bahan obat dan lain-lain. Di dalam parak juga ditanami pohon-pohon jenis usaha tani seperti durian, kayu manis, pala, kopi dan tanaman buah budi daya serta tanaman berumur pendek seperti cabai, tanaman berumbi, kacang-kacangan.

Dalam parak, pola produksi dan perkembangan spesies mirip dengan yang terjadi pada ekosistem hutan alami. Ternyata pengelolaan hutan seperti ini bisa menjaga kelestarian hutan tanpa merusak ekosistem yang terdapat didalamnya.


UU No. 41 tahun 1999 tentang kehutanan seharusnya bisa memberikan jaminan kepada masyarakat baik dari segi kepemilikannnya, penentuan kawasan dan hak pengelolaannya. Akan tetapi, sebagai dasar pengaturan tentang hutan, dalam UUK ini masih terdapat kelemahan-kelamahan dalam penghormatan terhadap hak masyarakat adat. Salah satunya tercermin dengan tidak diakuinya status hutan adat.

Walaupun dalam pasal 5 ayat 2 dijabarkan bahwa hutan Negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, dapat berupa hutan adat tapi itu tidaklah cukup untuk melindungi dan menghormati hak masyarakat adat terhadap hutan, karena secara tersirat negara disatu sisi berusaha untuk menghilangkan keberadaan hutan adat. UUK ini bila kita lihat dari substansinya secara politik hukum masih menganut paradigma pengelolaan hutan yang masih didominasi oleh negara dan tidak mengarah sisitim pengelolaan hutan berbasis pada masyarakat adat.

Dalam UUK kehutanan ini juga tergambarkan masih kuatnya keinginan pemerintah dalam hal ini Dephutbun untuk tetap mempertahankan kontrol dan penguasaan terhadap kawasan hutan dan sumber daya hutan. Semangat kontrol dan penguasaan ini terlihat dari pasal 4 mengenai penguasaan kehutanan.

Menurut saya, sudah saatnya pemerintah melakukan revisi terhadap UU No. 41 tahun 1999 tentang kehutanan ini agar kepentingan masyarakat adat terlindungi dan akses masyarakat adat terhadap hutan dalam pengelolaan hutan lebih besar.

Konsep pembangunan dan pengelolaan hutan untuk masa depan harus mengalami reformasi total menuju kepada pemberdayaan masyarakat sekitar. Kegagalan konsep ini akan membawa sumberdaya hutan kita menuju jurang kehancuran yang lebih dalam, sekaligus merupakan ancaman terhadap sistem pembangunan yang berkelanjutan.

(*Direktur Eksekutif Qbar)

Posted under real circumstance, source will be published and will not claimed as its own writing