Monday, November 30, 2009

Betta Strange Behaviour: "Tail Biting"

oleh : elnino

Pernahkah kita merasakan kecewa ketika membuka kiriman paket yang di tunggu – tunggu? Kiriman Cupang (Betta) yang memang kita sangat dambakan, dan akhirnya bisa terbeli. Betapa kagetnya kita setelah mengetahui bahwa betta yang ada dalam paket tersebut sudah kehilangan setengah dari ekornya, Marah atau kesal pastinya, tak jarang bila kita merasa tertipu. Padahal betta tersebut di beli dari farm atau breeder yang ternama, apalagi biasanya tercantum prasyarat bahwa segala kerusakan selama pengiriman diluar tanggung jawab penjual. Atau ketika pulang dari kantor, kita menemukan betta HM kesayangan yang ada di aquarium terlihat lesu, dengan serpihan ekor tersebar di lantai aquarium?

Salah satu daya tarik betta terletak pada keindahan ekornya, salah satu kriteria penilaian dalam kontes-kontes ikan cupang yang di adakan selama ini dikelompokkan pada kelas ekor, dan itu juga yang dapat membedakan jenis betta satu dengan yang lain. Sejauh ini ada beberapa jenis yang sering diperlombakan. Halfmoon, Plakat, Double Tail, Rosetail, Delta (Slayer), dan tentu saja jenis ekor kebanggaan kita karena produk asli anak bangsa Crown Tail (Serit). Namun seketika daya tarik itu hilang ketika ekor betta mengalami kerusakan.

Apa Sebenarnya yang menyebabkan kerusakan ekor betta

Memang kerusakan ekor umumnya terjadi bila betta tersebut di tempatkan dalam satu tempat dengan betta yang lain. Harus kita sadari adalah, betta adalah ikan soliter yang tidak bisa dicampur.

Dalam beberapa kasus yang terjadi, ada perilaku aneh pada betta, yaitu mengigiti ekornya sendiri. Perilaku ini umum terjadi pada jantan, tapi tidak sedikit juga terlihat pada betina, terutama untuk jenis ekor dan sirip panjang. Apa yang menyebabkannya? Stress, itu yang pasti. Ada beberapa kondisi yang menyebabkan betta tersebut menjadi stress

Stress. Kondisi ini biasa ditemui ketika cupang berada dalam pengiriman. Selama pengiriman betta ditempatkan di dalam plastik beroksigen, namun kondisinya sangat gelap dan ukuran kemasan yang sangat kecil. Guncangan – guncangan mengakibatkan stress pada betta, kadangkali posisi ekor menyentuh wajah betta, secara otomatis dan naluriah, betta akan melakukan “self defense” dan menganggap bahwa yang mengenai wajahnya adalah ikan lain. Pada jenis plakat dan betina, kondisi ini juga bisa terjadi, karena tubuh betta selama pengiriman dalam posisi meringkuk.

Kadang kala untuk melihat keindahan sirip dan ekor betta, kita menempatkan lampu penghias, sehingga ketika malam tiba, betta masih bisa terlihat. Padahal mata betta sangat sensitif terhadap cahaya dan gerakan. Intensitas cahaya yang kuat dan berlebihan dapat mengakibatkan kebutaan sehingga betta mengalami kebingungan yang luar biasa. Jangan kaget bila kita memasang lampu 24 jam, lalu menemukan sisa-sisa potongan sirip dan ekor pada lantai akuariumnya.

Kondisi lain yang dapat membuat betta stress adalah kita terlalu memantau, pada saat betta menajga telurnya atau anak2nya. Mengontrol ikan cupang yang sedang menjaga telur atau burayak memang perlu, tapi harap diingat intensitasnya. Memang sebuah kebanggan dapat membiakkan betta kesayangan kita.

Genetik. Beberapa penelitian menyebutkan, bahwa “tail biting” merupakan sifat genetis dari setiap betta, yang bisa diturunkan. Jadi setiap betta berpotensi untuk memiliki sifat “tail biting”, terlebih dengan sensitivitas dan pengaruh stress dari betta itu sendiri.

Pemberian Pakan dan Higienis. Intensitas pemberian yang tidak teratur, atau betta dibiarkan terlalu lama dalam kondisi tanpa pakan dalam aquarium, atau kondisi air yang kotor membuat betta juga menjadi stress. Perlakuan kasar juga dapat menimbulkan stress pada betta. Tidak benar bila kerusakan ekor betta disebabkan oleh kemampuan meregangkan sirip-siripnya yang indah.

Pengaruh rusak ekor dan penanganan
Rusak ekor atau sirip adalah luka terbuka yang rentan dan bisa memancing datangnya jamur dan parasit yang merugikan bagi kesehatan betta. Tidak jarang bila kondisi tersebut dibiarkan larut, kematian juga terjadi.

Bila betta telah mengalami kerusakan ekor, bila terlambat, jangan kaget bila kemudian kita menemukan betta kesayangan kita sudah tidak bernyawa. Segera lakukan langkah untuk mencegah berkembangnya jamur atau parasit. Obat2an ikan seperti blitz itch, reid all, fishmate, atau root stop dan pencegah jamur yang mengandung melafix dengan dosis sesuai dengan yang dianjurkan. Untuk kondisi ringan sirip betta akan kembali sehat, walaupun tidak akan bisa sama persis dengan kondisi semula sebelum rusak ekor terjadi.

Daya tarik betta terletak pada keindahan sirip, bila sirip rusak otomatis menjatuhkan “nilai jual” dari betta itu sendiri. Untuk breeder ini tidak menjadi masalah, dari pengalaman beberapa breeder, mereka tetap membiakkan betta tersebut walau siripnya sudah rusak. Sifat rusak ekor ini tidak diturunkan kepada burayak2nya.

Perhatikan kualitas air dari aquarium tempat betta. Jangan pernah lengah dalam mengatur kualitas air tersebut dengan menggantinya secara periodik atau kondisi tertentu, apalagi pada saat awal musim hujan yang berpengaruh juga terhadap kadar kimiawi air tersebut.

Biasanya dalam pengiriman, betta diberikan sedikit daun almond ke dalam air, fungsi daun almond ini bila menyerap dalam air adalah dapat memberikan ketenangan (bius ringan) pada betta selama pengiriman. Dosis yang diberikan disesuaikan dengan jarak tempuh dan lama perjalanan.

Perhatikan pemberian intensitas cahaya lingkungan sekitar aquarium, atau pada saat pemotretan betta. Jangan pula membatasi, karena cahaya juga berpengaruh pada hasil foto betta menajdi llebih mengagumkan.

Siapa yang tidak senang bila betta kembali sehat. Mari kita jaga betta kesayangan kita, dan juga melestarikan salah satu kekayaan sumber daya alam hayati Indonesia. Jayalah Betta Indonesia.

Elnino (dari berbagai sumber)

Posted under real circumstance, source will be published and will not claimed as its own writing

Friday, November 06, 2009

POTENSI POPULASI TIGA LARVA TRICHOPTERA SEBAGAI BIOINDIKATOR PENCEMARAN SUNGAI CILIWUNG

Oleh: Nurlena Hayati

Penelitian ini bertujuan untuk melihat keberadaan populasi larva Trichoptera di
sungai Ciliwung dan potensinya sebagai bioindikator.

Pencuplikan larva Trichoptera diambil menggunakan jala surber berukuran 30cmX30cm sepanjang lintasan lurus 10 meter di tiap stasiun dari tujuh lokasi yang berbeda yaitu: tiga lokasi di wilayah hulu (Legok Bulus, Gunung Mas dan Mega Mendung) dan
wilayah tengah meliputi empat lokasi (Kampung Pensiunan, Kampung Jogjogan,
Baranangsiang dan PDAM Cibinong).

Pencuplikan telah dilakukan dari bulan Juli sampai Oktober 2008. Hasil pencuplikan di semua wilayah penelitian ditemukan tiga larva Trichoptera yaitu Hydropsyche sp, Lymnephilidae sp, dan Rhyachopila sp. Pada stasiun Legok Bulus ditemukan 81% Hydropsyche sp, 3% Lymnephilidae sp dan 16% Rhyachopila sp. Gunung Mas ditemukan 73%
Hydropsyche sp 13% Lymnephilidae sp dan 14% Rhyachopila sp. Mega Mendung ditemukan 68,4% Hydropsyche sp dan 31,58% Lymnephilidae sp. Kampung Pensiunan ditemukan 90% Hydropsyche sp, 4% Lymnephilidae sp dan 16% Rhyachopila sp. Kampung Jogjogan ditemukan 100% Hydropsyche sp. Baranangsiang ditemukan 100% Hydropsyche sp dan PDAM Cibinong ditemukan 100% Hydropsyche sp.

Berdasarkan fisika kimia pada masing masing stasiun bahwa stasiun Legok Bulus, Gunung Mas, Mega Mendung tergolong stasiun yang belum tercemar (bersih) dengan jumlah individu larva Hydrophyse sp yang rendah antara 13-104, jumlah individu Lymnephilidae sp yang tinggi antara 4-15, dan Rhyachopila sp yang tinggi antara 6-20 individu. Stasiun Kampung Pensiunan, Kampung Jogjogan, Baranangsiang dan PDAM Cibinong tergolong sungai mulai tercemar ringan dengan jumlah individu larva Hydrophyse sp yang tinggi antara 204-1935, jumlah individu Lymnephilidae sp yang rendah antara 0-2, dan jumlah individu Rhyachopila sp yang rendah di bawah 7.

Kata kunci: Larva Trichoptera, bioindikator, Sungai Ciliwung.

English Version:

THE POTENTIAL OF TRICHOPTERA LARVAE POPULATIONS AS BIOINDICATOR OF POLLUTION IN CILIWUNG RIVER

Due to the existence of watercourse from upstream to downstream, besides the
economical and ecological resources, river is an aquatic ecosystem with specific
characteristics. The objectives of this study is to observe the occurrence of
Trichoptera larvae in Ciliwung river and its potential as bioindicator.

Collections of Trichoptera larvae were done using sorbet net (30cmX30cm) in a 10 meters transect line from seven different sites i.e: 3 sites (Legok Bulus. Gunung Mas,
Mega Mendung) consider as upper part and 4 sites (Kampung Pensiunan, Kampung Jogjogan, Baranangsiang, PDAM Cibinong) consider as middle part of the Ciliwung river. Sampling was conducted once in a month from July to October 2008. The aspects of water to be measured were temperature, TSS, DO, BOD5, pH, COD and nutrient (nitate, nitrite, ammonium).

The results found species of Trichoptera i.e: Hydropsyche sp, Lymnephilidae sp and Rhyachopila sp. In Legok Bulus found 81% Hydropsyche sp, 3% Lymnephilidae sp and 16%
Rhyachopila sp. In Gunung Mas found 73% Hydropsyche sp, 13% Lymnephilidae sp and 14% Rhyachopila sp. In Mega Mendung found 68,4% Hydropsyche sp, 31,58% Lymnephilidae sp. In Kampung Pensiunan found 90% Hydropsyche sp, 4% Lymnephilidae sp and 16% Rhyachopila sp. In Kampung Jogjogan found 100% Hydropsyche sp. In Baranangsiang found 100% Hydropsyche sp. In PDAM Cibinong 100% Hydropsyche sp. Based on relation of the physical and chemical factor, the study showed that two communities of Trichoptera on community was in Legok Bulus, Gunung Mas and Mega Mendung. The physical and chemical
factor which related to temperature, TSS, DO, COD, nitrate and nitrite. Then Trichoptera larva composed in this station, there were Hydropsyche sp, Lymnephilidae sp and Rhyachopila sp. The second communite consisted of four stations such as Kampung Pensiunan, Kampung Jogjogan, Baranangsiang and PDAM Cibinong.

The physical and chemical factor whic related to temperature, nitrate, ammonium and larva of Trichoptera was dominated by Hydropsyche sp. Based on scoring of physical and chemical, determination of ecological status of Ciliwung river showed that Legok Bulus, Mega Mendung and Gunung Mas could be consider as un polluted condition indicate by low number of Hydropsyche sp (13-104 individuals), high number of Lymnephilidae sp (4-15 individuals) and high number of Rhyachopila sp (15-20 individuals). At Kampung Pensiunan, Kampung Jogjogan, Baranangsiang and PDAM Cibinong consider as a light polluted condition indicate by the high number of Hydropsyche sp sp (204-1935) individuals), low number of Lymnephilidae sp (0-2individuals) and low number of Rhyachopila sp (7 individuals).

Key words: Bioindicator, Ciliwung River, Trichopter

Posted under real circumstance, source will be published and will not claimed as its own writing

Monday, November 02, 2009

HUTAN NAGARI ATAU HUTAN DESA

Oleh Nurul Firmansyah, SH

Hak ulayat bagi nagari tidak dipandang dari sisi ekonomi belaka, namun merasuk pada relung sosial dan budayanya. Keberadaan hak ulayat menjamin ikatan sosial dan budaya, seperti yang tersirat dalam adigium adat; Sako Pusako, yang bermakna; keutuhan struktur sosial masyarakat nagari berbanding lurus dengan keutuhan hak ulayat. Sikap ini kemudian melahirkan kesadaran kolektif masyarakat nagari, bahwa; hak ulayat harus dimanfaatkan, di kelola dan dipelihara untuk keberlangsungan antar generasi.

Telah jamak dipahami tentang eksistensi hak ulayat merupakan bagian integral yang tidak bisa dipisahkan dari nagari. Pendapat ini bukan hanya diusung oleh masyarakat nagari sebagai pemangku hak ulayat, namun juga di pahami oleh pelbagai pihak, termasuk didalamnya, para pengambil kebijakan di tingkat daerah (propinsi Sumatera Barat). Setidaknya, hal ini tersirat dalam Nota penjelasan Gubernur Sumatera Barat pada tanggal 4 February 2003 di hadapan Sidang Paripurna DPRD Sumatera barat dalam proses pembahasan Rancangan Perda Pemanfaatan Tanah Ulayat yang menyebutkan; “Pengaturan tanah ulayat mempunyai keterkaitan yang erat dengan prinsip kembali ke nagari sebagaimana di maksud oleh Peraturan daerah Sumatera Barat No.9 tahun 2000 tentang ketentuan Pokok Pemerintahan Nagari. Perda No.9 tahun 2000 merupakan suatu titik tolak yang mendasar untuk dapat mengatur dan mengelola tanah ulayat, karena hidup bernagari mempunyai korelasi yang sangat kuat dengan tanah ulayat dan adat istiadat.”

Realitas Hutan Nagari.
Realitas hak ulayat dalam wacana publik dan konstruksi adat tidak sebanding dengan kenyataan peminggiran hak ulayat oleh kebijakan pengelolaan sumber daya alam terutama kebijakan kehutanan nasional. UU No.41 tahun 1999 tentang kehutanan memposisikan hak ulayat atas hutan (hutan nagari / hutan adat) terabaikan oleh posisi hutan negara yang kemudian diikuti oleh pengikisan sistem pengelolaan hutan nasional terhadap pola pengelolaan hutan secara adat. Proses peminggiran hutan nagari tersebut berawal dari penunjukan sepihak kawasan hutan oleh pemerintah (Departemen Kehutanan) baik itu pada kawasan konservasi, produksi, maupun lindung, yang berakibat pada putusnya hubungan hukum antara masyarakat nagari dengan hutan nagarinya.

Secara empirik, situasi ini diatas menimbulkan pelbagai dampak yang serius bagi nagari dan juga bagi ekosistem hutan. Dari catatan Perkumpulan Qbar di nagari Guguk Malalo, kabupaten tanah datar, dan Nagari Simanau, Kabupaten Solok, dampak-dampak tersebut mencuat, berupa; pertama, hilangnya kearifan lokal (sistem adat) dalam pengelolaan hutan oleh masyarakat nagari yang tergantikan dengan pola pengelolaan hutan berbasis negara yang sentralistik dan berorientasi ekonomi belaka, kedua, pemiskinan masyarakat nagari akibat hilangnya sumber ekonomi atas hutan, ketiga, deforestasi akibat hilangnya kontrol masyarakat nagari, terutama para pemangku adat ditingkat nagari atas aktifitas pembalakan kayu.

Menggiring Hutan Desa dalam Hutan Nagari
Seraya bergulirnya waktu, Permenhut No. P 49 / menhut – II / 2008 Tentang Hutan Desa (kemudian disebut P49) terbit pada bulan september tahun ini. Bila di telaah dengan cermat, terlihat bahwa P49 lahir dari realitas sosiol ketidakadilan pengelolaan hutan, terutama ketidakadilan bagi masyarakat desa yang hidup di sekitar/dalam kawasan hutan yang notabene adalah masyarakat adat, atau pada lingkup yang lebih kecil yaitu nagari. Semangat diatas terproyeksi dari klausul menimbang dalam permenhut ini, namun sayangnya, P49 belum tuntas mengacu semangat tersebut dalam konstruksi norma-normanya, karena; P49 belum menyentuh persoalan struktural kehutanan disebabkan P49 hanya membuka ruang bagi desa/nama lain (termasuk Nagari) untuk mendapatkan akses pengelolaan hutan di kawasan hutan (produksi dan lindung), dalam artian membuka akses nagari untuk mengelola hutan negara berdasarkan ketentuan-ketentuan yang diatur dalam P 49. Artinya kebijakan ini belum tuntas merubah ketimpangan penguasaan hutan (hutan negara atas hutan adat), dan reduksi-reduksi kearifan lokal dalam watak pengelolaan hutan nasional. Kelemahan itu merupakan konsekuensi logis dari logika perundang-undangan yang hirarkis yang mengacu pada perundang-undangan yang lebih tinggi, yaitu; UU No.41 tahun 1999 tentang Kehutanan yang belum mengakui secara utuh hutan adat.

Terlepas dari kendala-kendala yuridis diatas, tentunya akses yang dibuka oleh P 49 terhadap pengelolaan hutan oleh desa / nagari melahirkan peluang sekaligus tantangan bagi masyarakat nagari untuk mengelola hutan secara adil dan lestari. Adapun tantangan utama yang muncul dari pemberlakukan P 49 yakni; pertama, minimnya peran pemerintah terhadap lembaga desa yang mengelola hutan desa, dimana hanya pada fasilitasi teknis dan manejerial hutan desa, sedangkan dukungan pembiayaan pengelolaan hutan desa diserahkan sendiri oleh lembaga desa. Hal ini memberi peluang bagi pemilik modal untuk memanfaatkan keberadaan hutan desa bagi eksploitasi ekonomi belaka yang menggunakan lembaga desa. Kedua, pengelolaan hutan desa mempunyai jangka waktu tertentu, yaitu 35 tahun, artinya pemerintah dapat mencabut atau memperpanjang keberadaan hutan desa.

Di sisi lain, peluang pengelolaan hutan desa atau hutan nagari di sumatera barat bisa terwujud apabila terdapat kesepahaman multipihak antara nagari dengan pemerintah daerah dan masyarakat sipil. Peluang yang diberikan P 49 harus ditangkap dengan memberikan fasilitasi intens dan serius dari pemerintah daerah dan kekuatan masyarakat sipil lainnya dalam mendorong nagari dalam mengelola hutannya. Dukungan tersebut berupa dukungan terhadap pola kearifan nagari, peningkatan kapasitas, maupun pembiayaan pengelolaan hutan sehingga ekses nagatif maupun peluang kegagalan pengelolaan hutan oleh nagari bisa diminimalisir.

Posted under real circumstance, source will be published and will not claimed as its own writing