Wednesday, March 31, 2010

Garuda Pancasila Bag, Made from Rattan

Eheng village is well known as a home-based of rattan producers. This is because, Eheng a natural tourist destination in West Kutai, East Kalimantan. We could find rattan craft diversity ranging from the bag to takraw’s ball, Eheng is the right place.

It’s been long time that people woven rattan in here. Women did the woven, I prepared the material, cut them and coloring rattan, ” said Mr Jamie (29 years) in the shop which also became her temporary residence in Eheng, District of Damai, Sendawar (22/3).

Mr. Jimmi’s family (first child of this family named Jimi-red), one of the many dayak families who seek rattan. There are dozens of families doing a home based rattan crafting in Eheng. There were a time that rattan became main sectors focus in West Kutai District before 2005, rattan began to catch an attention for community economic development in Eheng.

Later on, it evolved from the rattan dayak communities habit using the tools and household garden equipment of woven rattan. Rattan demand from outside the area also trigger these families to seek rattan. Besides, its raw materials readily available for long cultivated rattan in their field, local markets are also promising. Eheng as a tourist destination is clearly a milling travelers from outside the area.

Those white skin people often passed through here, there are tourism here. During Samarinda’s PON preparations, we used to send rattan with the truck 3 times. Recently, there were message from Singapore and Malaysia, but they ask for cheaper and a lot, I could not fulfil it,” explained Mr Jimi recounts his experiences about display and accepting rattan crafts orders.

West Kutai government through the Department of Industry, Trade and Cooperatives (Disperindagkop) often involve Eheng rattan craft exhibitions in Samarinda and National level. Although society does not charge a rent to Perindagkop, people were quite happy that their rattan craft would be known by outsiders.

My Goods, have stuck for months in government office. But never mind, those rattan was not leased and they were not taking me to the exhibition. Let the buyer know my stuff,” explained Mr. Jimi more information about the role of West Kutai local government in the rattan sector.

Palm wage labor
For last Several years, West Kutai have become a district for the construction and development of palm oil plantations. Currently in the subdistrict of Damai, there are some of palm oil plantations with core-plasma scheme. One close enough and influential to the Eheng Village is PT. Inti Sendawar Plantation (PT. PIS).

I’m waiting for the order first. My wife had worked to PIS and not to mention about small kids we have. Most women here, work in palm oil plant,” Mr. Jimi answers about the activities of family and other families in that part of Eheng territory which opened for palm plantations.

As he showed one of the shiny rattan bag because it is often used to go to the field. Rattan bag with Garuda Pancasila pattern, Mr. Jimi said, “there are lots of people like this bag, eventhough its old. People like its garuda picture in it.”

source:
Kulihat di depan mataku, tampak seorang bapak tua tengah kesusahan turun dari becak tunggangannya, kakinya tersangkut pada saddle. Becak yang menafkahi hidupnya selama lebih dari usiaku sekarang. Kuperkirakan usianya mungkin sudah lebih dari 60 tahun, terlihat dari deretan rambut putih yang menghiasi kepalanya. Tak lama ada dua orang yang datang membantu menurunkan Pak Sabar (sebut saja namanya demikian). Satu orang mendorong becak ke pinggir jalan, satu lagi membantu memapah Pak Sabar ke warung kopi di dekat situ. Tampak dimataku betapa sulit Pak Sabar untuk berjalan, terpincang-pincang ke sisi jalan.

Jalan kembali normal berangsur-angsur, mataku tak kulepaskan dari Pak Sabar. di warung itu tampak si teteh menyajikan kopi pahit. Sambil duduk, pak sabar memijat-mijat kaki kanannya. "something wrong with him" kataku dalam hati. Mukanya meringis, peluh disekujur wajah dan tubuhnya pun tak diindahkan.

Segera ku belokkan rossoneri masuk ke parkiran hotel. Di warung kopi itu masih ada Pak Sabar, Becak yang dikendarainya sudah mojok, satu rodanya dimasukkan ke dalam selokan (20 meter dari warung), hingga tak mengganggu jalan. Aku sengaja duduk disebelahnya, tanpa berkata kusodorkan balsem gosok yang sengaja kubeli dari warung dekat situ. Pak Sabar tidak menolaknya, segera ia balurkan balsem ke seluruh kakinya. Badannya gemetar.

“bu, bade nambut kopi... kenteul, ulah amis teuing nya” (bu, pesan kopi, kental, jangan manis sekali ya) ujarku. Kutawarkan pak Sabar, “ngopi teu?” (mau kopi?) sambil tak acuh. Padahal tadi pagi aku sudah ngopi di rumah.

Pak Sabar cuma mengangguk kecil. Sambil menunggu si teteh menyajikan kopi, iseng kutanya Pak Sabar. “Kunaon beh, kakina. Tadi teh ningali, hese’ nya turun ti becak”(kakinya kenapa, kelihatannya tadi sulit untuk turun ya) tanyaku datar.

“ah, biasa jang... kaki geus ilu kolot jeung urang mah keiu... sok ngadat, kram” (ah biasa, kaki ini udah ikut-ikutan tua kayak saya, suka ngadat, kram). Sahut pak Sabar.

Kulihat si teteh juga menyajikan aneka gorengan, masih hangat-hangat rupanya. Kuminta Piring, dan mencomot gorengan-gorengan menggiurkan itu. Kuletakkan antara aku dan pak Sabar. “Hayu pak, sambil ngantosan kopina. Ragu, dan gorengan itu tak digubris. Walaupun akhirnya diambil pisang goreng yang masih hangat itu.

Selesai membalur kakinya, disodorkan kembali balsem yang tadi. “simpen wae pak, bisi kram deui tos aya persiapan”. (simpan aja, siapa tau butuh). Pak sabar berjalan ke tempat becaknya tergeletak, ditaruhnya balsem dalam sebuah kantong plastik lusuh, entah sudah berapa lapis plastik itu. Jalannya masih tertatih.

“Kasian, si bapak teh. Tos tinggal duaan hungkul sareung pamajikana, tah di pojok dinya” (sekarang bapak hanya tinggal berdua bersama istrinya) tiba-tiba si teteh nyeletuk. Kulihat arah yang ditunjuk, hanya ada rumah besar tua berpagar seng tak terurus. “eta imah tos lami kosong, ceuk orang mah, nu bogana dipenjara, kasus penipuan, kaluargana malu terus pindah. Ayeuna eta imah dipake paranti tukang asongan, kuli, jeung tukang becak”. Setahuku rumah itu memang lama tidak dihuni, tidak ada listrik, hanya segel dari pengadilan di pagar seng yang mengelilingi rumah. Ternyata masih ada yang memanfaatkannya. “lamun cai mah, kabeh ka stasiun atanapi ka masjid” (kalau untuk mandi dll, semuanya ke stasiun atau ke mesjid).

Ku lirikkan mata sesekali ke pak Sabar yang sedang merapihkan dan melap becak tua kesayangannya

“Sigana si bapak can meunang tumpangan ti isuk, lamun geus mah, manehna sok meseun dahar didieu... paranti didahar manehna jeung pamajikanna. Baheula mah pamajikanana gawe kuli cuci piring, ayeuna sok geuring, jadina ngan pak sabar hungkul nu gawe. Anak-anakna geus beunghar sadaya, can pernah kapanggih sih, geus hilap meureun gaduh kolot” urai si teteh. “lamun telat dahar sok kram kitu tah, geus dibejakeun ulah maksakeun narik, sok hese’ jang” tambahnya. ”baheula mah narik ngeunah, seu’eur meunangna. Jelma teh lewuih milih naek becak atanapi delman tinimbang angkot. Ayeuna mah, haduuuh”

(kayaknya si bapak belum dapet tumpangan dari pagi, sebab biasanya jam segini dia sudah pesan makan satu bungkus untuk dia dan istri. Dulu istrinya membantu mencuci piring disini, tapi semenjak sering sakit-sakitan, cuma pak sabar yang bekerja. Anak-anaknya menurut cerita sudah pada berhasil, saya juga gak pernah lihat, sudah lupa mungkin sama orang tuanya)....(kalau telat makan si bapak memang suka kram, sudah sering diberitahu untuk tidak memaksakan narik becak, tapi susah)... (Dulu enak narik becak, suka dapat banyak. Orang lebih suka naek becak atau delman dibanding angkot. Sekarang, boro-boro)

Aku tak mau berlama-lama, gak kuat untuk mendengarkan cerita teteh tentang pak sabar. Segera kuhabiskan kopiku, “bu berapa semua?”. Sambil berbisik aku bilang “nanti sekalian ya bungkuskan gorengannya untuk babeh dan istrinya, jangan lupa juga bungkusin nasi 2, sedapetnya nya teh”. Kukeluarkan selembar uang dari kantongku, mudah-mudahan cukup.

Masih banyak orang-orang seperti Pak Sabar di negeri ini. Segera kutelpon rumah, Cuma untuk memastikan bapak di rumah baik-baik saja.

Pojok Bogor, 10 Maret 2010
Posted under real circumstance, source will be published and will not claimed as its own writing