Monday, December 01, 2008

Gambut terjepit, Gambut Menjerit

Bulan Juni 2007 yang lalu, Bank Dunia mengeluarkan laporan yang memperingatkan bahwa perubahan iklim memunculkan resiko serius bagi Indonesia, termasuk kemungkinan hilangnya 2.000 pulau saat permukaan laut makin tinggi. Walau skenario ini terdengar mengerikan, beberapa mekanisme yang diusulkan untuk mengatasi perubahan iklim, terutama kredit karbon melalui penghindaran penggundulan hutan, menawarkan kesempatan unik bagi Indonesia untuk memperkuat ekonominya bersamaan dengan penerapan kepemimpinan di dunia yang inovatif di bidang lingkungan dan politik.

Sebagai tinjauan, penghindaran deforestasi adalah proses dimana para pemiliknya, bisa jadi pemerintah, masyarakat, atau tuan tanah, menjual hak atas kandungan karbon di wilayah tertentu pada investor swasta. Investor swasta ini kemudian menjual kredit karbon di pasar internasional kepada perusahaan-perusahaan yang berusaha mengimbangi emisi mereka. Penghindaran hutan gundul saat ini hanya diketahui sebagai skema pengurangan emisi sukarela (voluntary emission reduction/VER), namun diharapkan konsep ini akan diterapkan pada pertemuan PBB mengenai iklim (COP-13) di bulan Desember 2007 di Bali, terutama jika proyek pembuktian konsep menunjukkan tanda-tanda keberhasilan.

Dengan 20 juta hektar dari rawa lahan gambut yang dimilikinya, Indonesia mempunyai posisi yang baik untuk menimbun mekanisme pertumbuhan kredit karbon di masa datang. Bahkan, pengubahan, pengeringan, dan pembakaran lahan-lahan gambut saat ini (seringkali dilakukan saat membuat perkebunan kelapa sawit) diperkirakan oleh Wetlands International, sebuah LSM Belanda, akan melepaskan 2 miliar ton karbon ke atmosfer setiap tahunnya. Ini sebanding dengan 8 persen dari emisi karbon manusia secara global dan ini adalah penyebab kenapa Indonesia menjadi pembuang emisi karbon ketiga terbesar di dunia setelah Cina dan AS. Walau kebijakan konvensional mengatakan bahwa mengubah lahan gambut menjadi kelapa sawit ini adalah cara ekonomis terbaik untuk menggunakan lahan tersebut, analisis kami menunjukkan bahwa kredit karbon dapat menyediakan investasi jangka panjang yang lebih baik bagi bisnis dan pemerintahan Indonesia. Bahkan, memperlambat penggundulan hutan dan melindungi ekosistem kaya karbon tak hanya akan memberi kesempatan Indonesia untuk menerima milyaran dollar per tahun melalui pasar karbon, namun itu juga akan menurunkan resiko terbukanya negara Indonesia pada fluktuasi harga kelapa sawit, dan juga resiko potensial dari serangan balik Eropa terhadap kelapa sawit sebagai biofuel.

Kalimantan Tengah
Beberapa daerah lebih cocok untuk proyek finansial karbon dibandingkan Kalimantan Tengah, yang mempunyai 3 juta hektar lahan gambut yang menyimpan 6,3 gigaton karbon. Untuk mengilustrasikan potensi ekonomi dari kredit karbon dengan kelapa sawit, kita mengkomparasi nilai uang sekarang (net present value-NPV) dari 1.000 hektar perkebunan kelapa sawit standar dengan 1.000 hektar rawa gambut yang dilindungi atas nilai karbonnya.

Asumsi perkebunan kelapa sawit:

* Biaya $2.700 per hektar untuk pembangunan perkebunan baru, dibayar pada 10% (figur tercetak)
* Hasil rata-rata dari 4,8 ton kelapa sawit per ha selama 25 tahun (IOPRI/ICRAF)
* Harga sawit $750 per ton persegi (harga sekarang)
* Pemasukan bersih 30% (figur tercetak)
* Pajak 7%, diskon 16%


Asumsi pelestarian lahan gambut untuk kredit karbon:

* Biaya manajemen 10%
* Pencegahan emisi karbon yang sebanding untuk kelapa sawit: 100 ton per ha untuk pembukaan hutan; 27 ton per tahun di tahun selanjutnya
* Kredit karbon berdasar pada raata-rata nilai pasar dunia 2006
* EU ETS Trading Scheme ($22.12)
* Secondary Clean Development Mechanism ($17.76)
* Laporan The State of the Voluntary Markets yang dikeluarkan Juli 2007 oleh Ecosystem Marketplace and New Carbon Finance ($14.00)
* Pajak 7%


Hasil untuk bisnis
Untuk melestarikan lahan untuk nilai karbonnya berharga lebih dari kelapa sawit, untuk harga karbon saat ini di pasar: $9,99 juta untuk EU ETS Trading Scheme, $8,02 juta untuk Secondary Clean Development Mechanism, dan $6,32 juta untuk laporan State of the Voluntary Markets. Ini dibandingkan dengan $6,58 juta pemasukan bersih selama masa 25 tahun perkebunan kelapa sawit. Bahkan jika harga kelapa sawit naik hingga $1.000 per ton persegi, pemasukan bersih tetap akan kurang dari harga ETS saat ini.

Hasil untuk Pemerintahan
Kredit karbon juga menghasilkan pendapatan pajak yang lebih besar bagi keuangan Indonesia, lebih dari kelapa sawit, terutama dengan adanya laporan bahwa 90% dari perkebunan nasional tidak membayar pajaknya dengan utuh (Jakarta Post, 14 Agustus). Pada 7 persen nilai pajak untuk karbon, harga sekarang dari pendapatan pajak bagi pemerintah Indonesia berkisar dari $476.000 hingga $752.000, sementara perkebunan kelapa sawit menghasilkan $495.000. Bahkan, contoh tersebut menunjukkan bahwa pada beberapa harga karbon, pemerintah Indonesia dapat mengenakan nilai pajak yang sedikit lebih tinggi pada kredit karbon dibandingkan dengan kelapa sawit, dan bisnis di Indonesia tetap lebih baik secara finansial daripada jika mereka bergantung pada kelapa sawit.

Hasil dibawah ini menunjukkan bahwa kredit karbon menawarkan potensi ekonomi yang besar dengan investasi yang rendah bagi Kalimantan Tengah. Lebih lanjut lagi, pengganti kerugian dari karbon ini bisa diterapkan pada daerah manapun di Indonesia yang memiliki lahan gambut dan hutan yang utuh. Pengembangan ini bisa membuat konservasi menjadi menguntungkan di Indonesia, sebuah langkah penting dalam melindungi lingkungan dan keanekaragaman hayati.

Dengan besarnya kemungkinan untuk menjadi pasar karbon nantinya, para pemilik lahan seharusnya memberikan pertimbangan serius mengenai nilai-nilai karbon saat memutuskan penggunaan lahannya. Walau kelapa sawit dapat dan akan terus berperan penting dalam ekonomi, penggantian kerugian karbon menawarkan mekanisme untuk mendukung dan memberikan variasi pada terbukanya finansial Indonesia, sementara pada saat yang bersamaan juga meminimalisir jejak negatif mereka pada lingkungan.

Fakta Lain dari Pulau Sumatera
Saat ini tim AMDAL dari PT. Citra Agroniaga bersama Pemda Jambi tengah menggodok kemungkinan pengembangan dan perluasan Perkebunan Kelapa Sawit. Yang menjadi perhatian disini adalah pengembangan tersebut akan dilakukan di sekitar zona penyangga dari Taman Nasional Berbak sejak penunjukkannya melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan SK No. 285/Kpts- II/1992 dengan luas 162.700 hektar, dan juga secara internasional yaitu dengan ditetapkan sebagai Lahan Basah Internasional dalam Konvensi RAMSAR pada tahun 1992.

Untuk tahap pertama PT. Citra Agro-niaga akan melakukan pengembangan perkebunan kelapa sawit sebesar 22 ribu hektar dari perencanaan pengajuan sebesar 150 ribu hektar atau hampir dua pertiga luasan zona penyangga taman nasional, serta beberapa areal lain yang masih memiliki status sebagai Taman Hutan Raya (TAHURA), Hutan Lindung (HL), Hutan Produksi Terbatas (HPT), dan Areal Pemanfaatan Lain (APL).

Review notes:
Mari kita berandai-andai dari fakta di Taman Nasional Berbak, jernihkan pikiran dan berfikirlah secara logis. Luas lahan gambut yang tersebar di pesisir timur Jambi meliputi Taman Nasional Berbak adalah sebesar 162 ribu hektar dan zona penyangganya belum ditambah dari areal Tahura, HL, HPT dan APL, kemudian bandingkan dengan perubahan gambut tersebut sebagai perkebunan sawit sebesar 150 ribu hektar. Dan bila program pengembangan masyarakat di sekitar areal gambut tersebut di laksanakan dengan prinsip pengembangan ekonomi rakyat dengan mengutamakan hasil hutan non kayu atau hasil lainnya atau bagaimana nasib masyarakat lokal atau tradisional yang masih menggantungkan hidupnya dari lahan gambut, apakah mereka harus disingkirkan.

Mana yang lebih menguntungkan dengan tetap menjadikan areal tersebut menjadi lahan gambut, atau menuruti keinginan pribadi atau golongan dengan dalih peningkatan pendapatan daerah dengan cara melakukan konversi lahan gambut menjadi perkebunan sawit? Apa masih perlu dipertanyakan?

Jelas terlihat penyakit lama Indonesia dengan hanya melihat peluang uang hanya telihat kasat mata, jadi mengingatkan kita kepada pepatah lama, "Semut di Seberang Lautan Tampak, Gajah di Pelupuk Mata tak Kelihatan". Semut adalah keuntungan dengan adanya pengembangan perkebunan sawit, Gajah adalah keuntungan dengan mempertahankan Lahan Gambut. Mengapa hanya mengejar semut, ganti kacamata kita agar bisa melihat gajah yang ada di depan mata kita. (nino).

Source: http://world.mongabay.com/indonesian/jakartapost_2.html