Monday, January 12, 2009

Nasib Warga Halimun-Salak “ngayayay”

KEPUTUSAN pemerintah untuk memperluas kawasan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak ibarat menyimpan bara dalam sekam. Sebelum batas wilayah daerah perluasan taman nasional itu ditetapkan, pemerintah sudah menuai protes dari masyarakat Halimun yang selama ini menggarap lahan di daerah tersebut. Bibit perselisihan antara pemerintah dan masyarakat penggarap kembali tumbuh. Sejak Juni 2003, kawasan Taman Nasional (TN) Gunung Halimun-Salak meliputi tiga wilayah kabupaten, yaitu Bogor, Sukabumi, dan Lebak. Hal itu seiring dengan terbitnya Surat Keputusan Menteri Kehutanan (Menhut) Nomor 175 Tahun 2003 tentang Perluasan Kawasan TN Gunung Halimun-Salak.

Dalam SK Menhut itu disebutkan, kawasan TN Gunung Halimun-Salak mengubah fungsi kawasan hutan lindung, hutan produksi tetap, dan hutan produksi terbatas, pada kelompok hutan Gunung Halimun dan kelompok hutan Gunung Salak seluas 113.357 hektar. Ini berarti ada penambahan lahan seluas 73.357 hektar. Sebagian besar daerah perluasan taman nasional itu selama ini dikelola Perum Perhutani, Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Banten.

Setelah menerbitkan SK No 175, Menteri Kehutanan kembali menerbitkan SK No 195 tentang penunjukan kawasan hutan di wilayah Provinsi Jawa Barat seluas 816.603 hektar, pada Juli lalu, yang berarti hutan yang dikelola Perhutani tidak lagi masuk ke dalam kawasan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Menurut Kepala Subbagian Tata Usaha Balai TN Gunung Halimun-Salak Luki, adanya dua surat keputusan yang saling bertentangan itu disebabkan kurangnya koordinasi antarbagian di lingkungan intern Dephut. SK Menhut No 175 Tahun 2003 dikeluarkan Direktorat Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) Dephut, sedangkan SK No 195 tahun yang sama diterbitkan Badan Planologi. "Kemungkinan surat keputusan No 195 keluar lebih dulu dibandingkan dengan surat keputusan No 175," jelasnya.

Kini, Dephut sedang merevisi kembali dua surat keputusan itu agar tidak ada lagi kebijakan yang tidak sinkron satu sama lain. Dalam perumusan kembali surat keputusan itu, Dephut melibatkan semua pihak yang terkait dengan masalah itu, antara lain Perum Perhutani dan Balai TN Gunung Halimun-Salak. "Sekarang sedang dalam tahap menginventarisasi masalah yang timbul dari adanya perluasan kawasan tersebut agar nantinya tidak ada dampak negatif terhadap kebijakan baru itu," kata Luki.

Demikian berita yang terlansir dalam sebuah artikel di Kompas tanggal 15 November 2003. Kenyataan yang sungguh pahit, dimana konservasi alam harus berhadapan dengan kebutuhan perut petani penggarap. Dan setelah semua proses berjalan selama 5 tahun, permasalahan tersebut masih terasa, setidaknya itu yang tercermin dari argumen yang dikeluarkan dari kedua pihak dalam sebuah Semiloka yang mengangkat tema hasil kajian bersama masyarakat adat Kasepuhan dalam pengelolaan sumberdaya alam di sekitar Taman Nasional Gunung Halimun-Salak di Serang 13 nopember 2008 lalu.

Apa yang terjadi kemudian adalah, permasalahan yang muncul pada tahun 2003 ini belum menemui titik terang, semua proses mediasi antara Balai Taman Nasional dengan Pemerintah Kabupaten Lebak terus menemui jalan buntu. Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Provinsi Banten, Mohammad Yanuar dalam satu kesempatan mediasi, mengibaratkan permasalahan antara Taman Nasional dan Pemda Lebak sebagai suatu yang "ngayayay", atau berlarut-larut tak tentu arah. Tuntutan ini kemudian diangkat ke meja Komisi IV DPR untuk dicarikan pemecahannya.

Kalau ditilik dari tujuan pengelolaan wilayah, jelas antara Pemda Lebak dan Taman Nasional sudah mempunyai beda persepsi. Pemerintah daerah mempunyai prinsip untuk pembangunan daerah, peningkatan pendapatan dan kesejahteraan rakyat, di lain sisi amanat yang diemban oleh balai taman nasional untuk mengelola areal yang dialihfungsikan ini sebagai hulu dari mata air penting yang menjadi penyangga kehidupan masyarakat yang tinggal di sekitar Bogor, Tangerang dan Jakarta. Wilayah alih fungsi ini kemudian menjadi pertanyaan besar banyak pihak, karena dalam wilayah tersebut, banyak juga terdapat kampung-kampung yang tersebar di seluruh wilayah Halimun, baik perkampungan masyarakat Kasepuhan, maupun perkampungan yang dihuni oleh keluarga pekerja perkebunan yang keberadaannya sudah ada sejak adanya perkebunan di daerah tersebut. Untuk mengatasi hal ini beberapa pihak mendorong penyelesaiannya melalui program Model Kampung Konservasi, penetapan sebagai zona khusus, atau disepakati berdasarkan MoU, yang kemudian akan diatur dalam Rencana pengelolaan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (RPTNGHS) 2007 - 2026.

Tak bisa dipungkiri potensi yang ada di wilayah kabupaten Lebak dapat dimanfaatkan sebagai sumber APBD pemda. Dengan pertimbangan ini, merupakan hal yang "wajar" jika kemudian Pemda Lebak kemudian merencanakan pembangunan wilayah dengan adanya rencana pembangunan Waduk Kiaran, yang berfungsi sebagai penangkap air yang kemudian akan didistribusikan ke seluruh wilayah Lebak, Serang sampai Tangerang, dan juga dapat berpotensi sebagai objek wisata. Potensi lain yang tak kalah menarik adalah adanya kandungan logam seperti emas, galena, bentonit, dan logam lainnya. Didasari dengan dalih fakta bahwa logam-logam tersebut sudah sejak lama di ambil baik secara tradisional oleh masyarakat, sehingga pemerintah merasa "berkewajiban' untuk mengembangkan potensi "turun-temurun" ini. Atas dasar ini jugalah kemudian yang mendorong investor untuk menanamkan modalnya di wilayah Lebak, fakta terbaru adalah dengan keluarnya izin pertambangan dalam wilayah "sengketa" kepada PT Sasak, dan PT ARI.

Lalu, apa yang kemudian didapat oleh masyarakat? Selama 5 tahun perubahan yang terjadi, baik manfaat maupun dampak belum terlihat. Pada awal penunjukkan taman nasional justru membuat resah masyarakat, walaupun melalui pendampingan dan penyadaran hal tersebut lambat laun dapat dikurangi, terlebih sudah banyak program yang dirancang dalam pengelolaan yang juga akan melibatkan masyarakat. Sikap pemerintah yang terkesan acuh tak acuh terhadap masyarakat, atau cuma menggunakan masyarakat sebagai dasar kebijakan, ternyata tak melulu dapat dirasakan. Bahkan program-program pemerintah seperti PNPM, Raskin, BOS, distribusi buku pendidikan, dan program-program lain sangat jarang menyentuh ke masyarakat yang notabene tinggal di wilayah dengan asesibilitas rendah ini.

Pertanyaan besar muncul, sampai kapan permasalahan ini akan terus berlangsung? Lalu bagaimana nasib masyarakat yang terkatung-katung ini?. Makin lama masalah ini menjadi masalah "ngayayay" makin besar pula penderitaan masyarakat terus berlanjut.

0 comments: