Friday, October 30, 2009

Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Adat

Oleh : Jomi Suhendri. S*

Dalam banyak kasus, kekayaan hutan alam Indonesia seringkali menimbulkan konflik di tengah masyarakat, baik konflik antara pemerintah dengan masyarakat maupun konflik antara masyarakat dengan masyarakat itu sendiri. Dari sekian banyak konflik yang sering mencuat ke permukaan, konflik yang berkaitan dengan pengelolaan hutan merupakan hal yang paling sering terjadi.

Dampak dari konflik itu, tak jarang menimbulkan berbagai dampak yang secara langsung dirasakan oleh masyarakat itu sendiri, seperti hilangnya akses masyarakat adat dalam pengelolaan hutan. Padahal, selama berabad-abad mereka telah menggantungkan kehidupannya pada hutan dan kekayaan yang terkandung di dalamnya. Berangkat dari persoalan itulah, semestinya pemerintah harus mendorong lahirnya kebijakan pengelolaan hutan yang berbasiskan masyarakat.

Di Sumatera Barat (Sumbar), sistem pengelolaan hutan berdasarkan kearifan lokal dan diatur menurut ketentuan hukum adat setempat telah lama ada. Dalam hukum adat Minangkabau, hal itu dikenal dengan istilah ‘tanah ulayat’. Tanah ulayat secara sederhana bisa diartikan sebagai satu kesatuan wilayah yang mempunyai hak, baik itu hak ulayat kaum, hak ulayat suku maupun hak ulayat nagari. Tanah ulayat bisa berupa hutan maupun parak (kebun), sawah dan fungsi lainnya, yang secara arif difungsikan oleh masyarakat adat di Sumbar sesuai dengan kebutuhan dan ekologi.

Konsep pengelolaan hutan seperti itu sebenarnya sudah ada dalam masyarakat adat yang diwariskan secara turun temurun. Bahkan, hingga saat ini, konsep pengelolaan hutan yang berdasarkan pada kearifan lokal ternyata mampu membuktikan kalau pengelolaan yang berbasiskan pengalaman, pengetahuan dan teknologi lokal mampu meningkatkan ekonomi masyarakat, serta menjaga fungsi ekologi hutan dan tidak melulu eksploitatif.

Kita bisa melihat konsep pengelolaan yang dilakukan oleh masyarakat adat di Koto Malintang, Kabupaten Agam, Sumbar. Di daerah ini, sistem pengelolaan hutannya dikenal dengan istilah ‘parak’, istilah yang dikenal luas di Minangkabau. Parak di Koto Malintang ini menghasilkan hasil hutan yang khas, baik untuk dijual maupun untuk kebutuhan harian, termasuk kayu bangunan, kayu bakar beserta hasil hutan ikutan seperti buah hutan liar dan sayuran, bahan obat dan lain-lain. Di dalam parak juga ditanami pohon-pohon jenis usaha tani seperti durian, kayu manis, pala, kopi dan tanaman buah budi daya serta tanaman berumur pendek seperti cabai, tanaman berumbi, kacang-kacangan.

Dalam parak, pola produksi dan perkembangan spesies mirip dengan yang terjadi pada ekosistem hutan alami. Ternyata pengelolaan hutan seperti ini bisa menjaga kelestarian hutan tanpa merusak ekosistem yang terdapat didalamnya.


UU No. 41 tahun 1999 tentang kehutanan seharusnya bisa memberikan jaminan kepada masyarakat baik dari segi kepemilikannnya, penentuan kawasan dan hak pengelolaannya. Akan tetapi, sebagai dasar pengaturan tentang hutan, dalam UUK ini masih terdapat kelemahan-kelamahan dalam penghormatan terhadap hak masyarakat adat. Salah satunya tercermin dengan tidak diakuinya status hutan adat.

Walaupun dalam pasal 5 ayat 2 dijabarkan bahwa hutan Negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, dapat berupa hutan adat tapi itu tidaklah cukup untuk melindungi dan menghormati hak masyarakat adat terhadap hutan, karena secara tersirat negara disatu sisi berusaha untuk menghilangkan keberadaan hutan adat. UUK ini bila kita lihat dari substansinya secara politik hukum masih menganut paradigma pengelolaan hutan yang masih didominasi oleh negara dan tidak mengarah sisitim pengelolaan hutan berbasis pada masyarakat adat.

Dalam UUK kehutanan ini juga tergambarkan masih kuatnya keinginan pemerintah dalam hal ini Dephutbun untuk tetap mempertahankan kontrol dan penguasaan terhadap kawasan hutan dan sumber daya hutan. Semangat kontrol dan penguasaan ini terlihat dari pasal 4 mengenai penguasaan kehutanan.

Menurut saya, sudah saatnya pemerintah melakukan revisi terhadap UU No. 41 tahun 1999 tentang kehutanan ini agar kepentingan masyarakat adat terlindungi dan akses masyarakat adat terhadap hutan dalam pengelolaan hutan lebih besar.

Konsep pembangunan dan pengelolaan hutan untuk masa depan harus mengalami reformasi total menuju kepada pemberdayaan masyarakat sekitar. Kegagalan konsep ini akan membawa sumberdaya hutan kita menuju jurang kehancuran yang lebih dalam, sekaligus merupakan ancaman terhadap sistem pembangunan yang berkelanjutan.

(*Direktur Eksekutif Qbar)

Posted under real circumstance, source will be published and will not claimed as its own writing

0 comments: