Wednesday, February 27, 2008

Kita, Alam dan Dunia yang Saling Terkait

Segalanya telah berubah. Sungai tak lagi jernih sejak menjadi tempat pembuangan limbah pabrik, pepohonan menghilang, tanah lapang digantikan bangunan beton dan pabrik-pabrik. Ruang bermain tak ada lagi. Anak-anak sekarang hanya bisa bermain bola di lapangan seluas layar televisi melalui permainan play station yang disewakan seperti Fakri di desa Dalu X.A.

Terkadang kita tidak menyadari perubahan di sekitar kita. Barangkali karena perubahan itu begitu halus mendekat, memanipulasi pikiran dan melenakan, lalu tiba-tiba kita telah kehilangan segalanya. Perubahan di hutan Penguwar, misalnya, dimulai dari sebungkus minuman instan bermerek Jas Jus. Rasa melon atau stroberi tentu menggiurkan karena tak pernah ada di hutan tropis Penguwar. Sangat menggiurkan sampai-sampai Penguwar rela menukarnya dengan daging rusa jatah makannya.

Manipulasi juga muncul melalui layar televisi di rumah kita seperti cerita Mak Lampir yang membuat Sipar penasaran. Sosok Mak Lampir sesungguhnya adalah dongeng yang diciptakan televisi. Seperti halnya Mickey Mouse atau Superman, ia tidak nyata meskipun dalam dunia nyata memang ada gunung bernama Merapi dan kebetulan di sana terdapat banyak mitos. Tetapi Mak Lampir ternyata salah mampir, karena Sipar dan penghuni dusun lainnya tidak mengenal sosoknya.

Akhirnya, tanyakan pada Haposan Sinaga di Sumbul, Sumatera Utara, bagaimana rasanya kehilangan mata air. Haposan boleh mengeluh, karena dahulu kondisi desanya tak seperti itu. Ia bahkan punya kolam mata air yang menjadi tempat bermainnya, mata air yang menjadi sumber kehidupan desanya. Situasi berubah semenjak mata air itu mengering sehingga ia harus berjalan setengah kilometer setiap hari di bawah terik matahari untuk mengambil air di sungai yang dangkal. Kalau ingin marah, marah pada siapa?

Tak hanya itu, Qodir yang tinggal di sebuah desa di Jawa Barat juga harus merelakan sungai-sungai di desanya menjadi tempat buangan limbah pemrosesan emas. Ia tidak tahu, bahwa bahan kimia yang digunakan untuk mengolah emas ternyata bisa berakibat buruk bagi lingkungan dan kesehatannya. Kalaupun ia tahu, mungkinkah ia bisa menolak menjadi penambang emas?

Teman-teman seperti Qodir kadang-kadang tak punya pilihan. Seperti halnya Penguwar, ketika uang sudah menjadi kebutuhan, terkadang tanpa sadar kita menggadaikan apa yang kita punya, termasuk kekayaan alam yang tak ternilai harganya.

Nah, uang kemudian menjadi penting ketika manusia mengalihkan pemenuhan kebutuhannya dari alam kepada pasar: ketika Penguwar lebih memilih buah imitasi Jas Jus dari pada memetik sendiri buah-buahan segar di hutan, ketika tak ada lagi hutan dan sungai tempat bermain di desanya maka Fakri harus membayar sewa play station. Uang dan pasar jugalah – didukung teknologi informasi dan transportasi – yang mempertemukan manusia di berbagai tempat dalam pengalaman yang sama. Penguwar yang tinggal di hutan Jambi menikmati Jas Jus yang juga diminum oleh Agnes Monica di Jakarta. Fakri bermain play station seperti halnya anak-anak di Jepang sana. Konon, para pakar dan pemikir menamakan proses ini sebagai globalisasi.

Menurut mereka, globalisasi adalah suatu sistem budaya yang global, yang mendunia. Artinya, di belahan dunia manapun kita berada, pasti akan terkait dalam satu jaringan besar. Kita semua adalah bagian dari mata rantai, saling mempengaruhi.

Tentu ada dua sisi yang didapat dari proses ini: positif dan negatif. Kebetulan Penguwar, Sipar, Qodir, Haposan, Fakri dan Bu Sukenti termasuk yang tidak beruntung karena alam di sekitar mereka tak lagi ramah dan bersahabat. Teman-teman yang menuliskan kisah mereka mengenal benar bagaimana tokoh-tokoh tersebut coba bertahan di tengah perubahan lingkungan tempat hidup mereka.

Dodi Rokhdian, Sunarja, Arief Rachman dan Ratnasari, Rita Artanti serta Pudjiningtiyas adalah orang-orang yang bekerja melakukan pendampingan di tempat tokoh-tokoh yang mereka ceritakan. Intensitas mereka di lokasi dampingan, kedekatan hubungan dengan komunitas setempat termasuk tokoh-tokoh yang diceritakan kemudian, juga kepekaan mereka terhadap persoalan-persoalan lingkungan yang terjadi di sana menghasilkan diskusi menarik. Di lima lokasi dan persoalan yang berbeda, terdapat benang merah yang sama yaitu anak dan perubahan lingkungan yang setelah ditelusuri sebab-akibatnya, disimpulkan satu persoalan besar yaitu hukum keterkaitan dunia tadi. Lalu jadilah buku ini agar kisah Penguwar, Sipar, Qodir, Haposan, Fakri dan Bu Sukenti dapat menjadi renungan bersama.

Rasanya tak perlu menunggu 30 tahun – sebagaimana Bu Sukenti – untuk menyadari perubahan alam di sekitar kita. Kita sadar mulai dari sekarang!

Judul Buku : "Alamku Tak Seramah Dulu" atau "Nature, The World and US (english version)"
Isi : 122 Halaman
Penerbit : Buku Obor
Tahun : 2006 (Juli)
Harga : 15.000+ IDR (+ 6.000 IDR if ordered by mail)

How To Order
mail to : elninoaraujo@yahoo.com.sg or rmibogor@indo.net.id
ph: 0251-311097 and 0819-3110-1288 (nino) 24 hours

0 comments: