Wednesday, December 29, 2010

Roda Dua, Derasnya Hujan dan Pekatnya Malam (Memori 4 Januari)

Surat itu ku terima satu hari sebelumnya. Masih kupandangi sebaris kata itu, tak percaya apa yang tertulis disana. Pikiranku bermain dengan emosiku, walau tubuh ini menampakkan kelelahannya tapi fikiranku terus saja menjelajah ke negeri antah berantah untuk mencari jawaban atas pertanyaan besar dalam hidupku.

Mata ini masih saja tak bisa terpejam, entah sudah kulalui berapa malam seperti ini.

Sudah beberapa hari ini juga alam tak bersahabat dengan manusia, air masih ditumpahkan dari langit yang gelap, deru angin yang bergemuruh menggoyangkan sisa-sisa rumpun bambu di seberang rumah yang sudah kudiami hampir 2 tahun ini. Keheningan begitu menusuk, sampai-sampai bisa kuhitung detak jantungku, detak-detak seluruh jam di rumah yang sepi ini.

Ku longok jam di salah satu ponsel itu. 02.45 dini hari, terhenyak diriku ketika tiba-tiba salah satunya berdering. Terakhir kali aku mendapat panggilan pada waktu yang sama adalah 2 tahun lalu. Pada saat itu aku juga dalam kondisi yang hampir dibilang mirip, pikiranku dipenuhi bayangan masa depan dan penuh kebimbangan. Dan ingatanku langsung melayang menembus mesin waktu pada peristiwa dini hari itu.

4 Januari 2008

Aku berada di ruang kerja sempitku, sementara rekan-rekan senasibku entah sudah sampai alam mana mimpi mereka.

Panggilan itu datang.

Kuangkat dengan sigap. Diseberang sana kamu hanya mengucapkan sebaris kata itu.

Eyang sudah gak ada, aku mau pulang” katanya singkat

Tunggu aku” jawabku singkat.

Kuraih apa yang ada didekatku untuk menutupi tubuh dari dingin malam itu. Supri yang baru juga terlelap kupaksa untuk membuka matanya,

aku pinjam motormu

Seakan mengerti akan raut mukaku, tanpa sepatah katapun ia menyodorkan seberkas surat dan kunci kepadaku, dan hanya sekedar mengingatkanku bahwa hari ini ia lupa mengisi bahan bakarnya.

Kuhalau dingin malam itu, disana kamu telah menungguku, siap untuk melaju menembus dingin dan gelapnya malam itu. Dan masih saja, alam tak bersahabat, gendering awan terus bersahut-sahutan, cahaya berkilatan sambung menyambung di atas kepala kami.

Belum lagi jauh perjalanan itu, airpun ditumpahkan dari langit begitu dahsyatnya. Kupegang tangannya sambil tetap menjaga keseimbangan dua roda itu. Kamu tak berkata apa-apa, fikiranmu sudah ada disana, walau erat tubuhmu mendekapku, seraya kau sandarkan kepalamu dipunggungku dideras hujan dini hari itu. Tiap beberapa waktu, kutanya dirimu, apa kita akan berhenti dan beristirahat sejenak? Tapi pertanyaan itu hanya dijawab dengan bibir rapatmu. Sampai akhirnya kamu bilang,

Bensinnya abis…. Nanti kita berhenti di Pom Bensin terdekat ya”.

Kujawab dengan anggukan kecil, kupacu roda dua pinjaman itu menembus lebatnya hujan. Sesampai pengisian bahan bakar, hujan sudah mereda. Waktu itu kupergunakan untuk beristirahat sejenak.

Bahan bakar telah terisi, motor sudah kukeringkan, menyisakan tubuh kami berdua yang basah kuyup. Tubuhku bergetar, tapi kamu menahan dingin itu. Kudekati dirimu tanpa sepatah katapun. Kuraih wajah itu, seakan kaupun tahu apa yang ada difikiranku. Kau sandarkan wajahmu didadaku.

Ku kecup kening itu, “Ayo kita lanjut, 15 menit lagi sampai” hanya anggukan kecil yang kuterima sebagai jawabnya

Sesampainya ditujuan, Om tampak berusaha tetap tenang dan menceritakan semuanya. Didalam kamar kecil itu, tubuh renta 84 tahun itu sudah dipanggil yang Kuasa, terbujur kaku dan telah lepas dari penderitaannya.


2 tahun berlalu

Kali ini suara diseberang sambungan hanya berkata: “Bapak Sakit

15 tahun lalu pernah kudengar suara yang sama.ketakutan menjalar keseluruh sendiku. Tanpa fikir panjang ku hidupkan motor yang kini sudah menjadi milikku, hasil perjuangan kami berdua.

Bedanya, malam itu harus kutembus air hujan tanpa kehadirannya dibelakangku. Pikiranku terus melayang, entah tak tentu rimbanya. Pom Bensin itu masih disana, semua seperti diputar kembali. Jalan yang kulalui masih sama.

Aku masih sempat menemuinya. Tubuh kecil itu bergetar, sesekali batuknya menyayat, tak berdaya. Hanya satu yang masih tampak sama. Sorot matanya yang tajam menusuk. Kekerasan hatinya lah yang kemudian mampu mengumpulkan sisa tenaganya hanya untuk berkata.

Pada ngapain lu… Bapak gapapa, gak butuh bantuan siapapun. Ngapain baru sekarang lu pada pura-pura perhatian ama bapak!”

Aku tak bisa dan memilih tak mau menjawab pertanyaan itu. Tanpa berkata apapun, kutinggalkan tubuh lemah itu didalam kontrakan kecil itu. Kami semua tak tahu apa yang harus dilakukan. Hatinya masih sekeras karang.

Tanpa kusadari, kekerasan hati itu telah menjadi bagian dariku. Tak bisa kupingkiri, kekerasan hati itu telah menjalar dalam darahku. Kekerasan hati yang membuatnya kehilangan orang yang berharga dalam hidupnya satu persatu, termasuk darah dagingnya sendiri.

Apakah aku akan menghabiskan sisa hidupku dengan kekerasan hati ini? Dan membuat semua yang kumiliki menjauh dariku. Kuharap, aku masih memiliki waktu untuk mengubahnya.


Buitenzorg, penghujung 2010. dalam kesunyian
Posted under real circumstance, source will be published and will not claimed as its own writing

0 comments: