Monday, January 03, 2011

Just trying

Hari terakhir di tahun 2007

Waktu menunjukkan pukul 15.00 sosoknya sudah hadir dengan beberapa perlengkapan yang ingin ia kenakan untuk acara yang ia bawakan nanti malam. Sedang esoknya harus ia isi dengan membawakan acara di sebuah radio swasta di bilangan Cipete. kalau saja penghasilanku dan ia cukup, mungkin kami tak akan bersusah payah mencari tambahan.

"Harajuku Festival".

Aku hanya ingin waktu berjalan begitu cepat hari itu, tidak ada libur. aku gunakan waktuku untuk belajar menggunakan kamera baru temanku (Pentax 1000), kugunakan juga ia sebagai objekku, memang wajahnya selalu mempesona, baik dari balik lensa maupun ketika kutatap dengan kedua mataku.

Pukul 16.30 Motor sewaan sudah datang, tak lama kemudian kupersiapkan diriku untuk mengantarnya, sekalian merayakan pergantian tahun di Jakarta.

"Lumayan dapet job tahun baru, bisa untuk tambahan jajan" ujarnya. seraya mengeluarkan beberapa lembar untuk keperluan membayar sewa motor dan keperluan di jalan.

Baju yang dikenakannya sangat sederhana, tapi begitu menguatkan sosoknya yang bersahaja di mataku. Tak terasa, sudah 8 bulan kami mencoba mengenali satu sama lain. Mencoba belajar menerima kelebihan dan kekurangan masing. Mencoba membuka hati untuk sebuah bentuk cinta.

Kupacu roda dua itu diantara kemacetan ibukota yang tengah mempersiapkan datangnya tahun baru, sempat terhenti karena air diturunkan dari langit (lagi-lagi hujan), yah memang hujan adalah bagian dari hubungan kami. Kami gunakan waktu itu untuk membeli perlengkapan pendukung, sebut saja pewarna temporer dan beberapa penganan lain, tak lupa juga mengisi perut untuk kemudian melanjutkan perjalanan setelah hujan reda.

Di bilangan Jakarta Selatan kemeriahan sudah tersebar di lokasi, karena memang acara festival ini sudah berlangsung sejak 2 hari sebelumnya. ku parkir roda dua sewaan itu tak jauh dari tempat pelaksanaan. Ia pun bergegas menghampiri sahabat yang sudah lebih dulu ada disana, dikeluarkan kimono tradisional, mewarnai rambut kami berdua. Sambil kulihat sekeliling, sekumpulan cosplay dan persiapan performer.

Aku memilih untuk duduk di belakang panggung sambil mengamati setiap gerak-geriknya memandu para penonton yang larut dalam kemeriahan, sambil tersenyum sendiri melihat akinya, hanya ia yang kuamati. Mulai dari band beraliran Japan, atraksi perkusi (taiko kalo gak salah), sampai saat pergantian tahun datang.

02.30 WIB Acara telah usai, setelah berganti baju lagi dan berpamitan, meninggalkan kami berdua diparkiran itu. Kini timbul masalah baru. kami tak tahu harus kemana. Karena waktu juga menunjukkan masih lama untuknya sebelum ia siaran. ada beberapa alternatif yang kami fikirkan, tapi semua berujung pada kebuntuan dan ke ragu-raguan.

apa yang harus kami lakukan selama empat setengah jam ke depan?

"Kamu gak bisa bermalam di radio, kalo aku mungkin bisa. tapi aku gak mau ninggalin kamu sendiri" ujarnya

"Let's enjoy Jakarta Street" Mungkin nanti kita bisa mencari jalan keluar sambil berjalan diatas motor itu. Diantara kelelahannya, pikirannya tak bisa diajak berkompromi, emosinya pun terluap. Semua jalan tertutup. Aku mencoba bersikap tenang, walau tidak bertahan lama.

Lama kami berjalan menjelajah tiap jengkal aspal ibukota, setiap tempat yang kami temui sepertinya tidak ingin kami singgahi. Pikirannya sudah melayang akan tugasnya esok. Dead End. pertengkaran kecil terjadi di atas dua roda itu. sementara jalan juga tak bersahabat dengan kami, antrian kendaraan tak bisa bergerak, ku coba memacu motor itu di sela - sela tumpukan kendaraan yang aku yakin terisi oleh orang-orang yang juga tidak tahu hendak kemana.

Akhirnya kupaksakan juga untuk mengistirahatkan tubuh ini. Aku mengambil langkah egois. Satu-satunya tempat yang dapat menerima siapa saja adalah sebuah tempat makan cepat saji yang letaknya begitu strategis, berada diperempatan kemang, dan dekat dengan radio tempat ia bekerja. sambil menunggu datangnya pagi.

Tempat itu juga begitu padat, kupaksakan untuk mendapatkan tempat kosong hanya untuk sekedar melepaskan lelah kami, memesan penganan yang sebenarnya tidak begitu kami perlukan.

"Gak papa, pesan aja... aku masih ada lebih kok, tadi dikasih agak banyak sama dewi". Ujarnya. "Memang, dewi salah satu teman terbaikku".

"hmm, kamu mau pesan apa?" tanyaku seraya menerima selembar uang yang ia keluarkan.

"apa aja, yang penting minumanannya" jawabnya. "kamu masih ada pegangan khan? Bensin masih? nanti pegang aja ya, buat bensin".

Tak ada senyum di wajah lelah itu. Akupun lelah.

Koneksi internet ditempat itu begitu menyedihkan, tak ada yang bisa kami lakukan, kumasukkan kembali laptopnya ke tas yang seharian kupanggul didadaku. Wajahnya tampak lelah, rambutnya sudah tidak berbentuk, pewarna yang kami pakai sudah luntur terkena rintik hujan dan helm yang kami pakai.

Sesaat ia tak bisa menahan kantuknya, walau matanya terus memandang laptop kesayangannya. Beberapa tombol keyboardnya sudah bermasalah. kadang kudapati ia terpejam. Namun kekerasan hatinya yang membuat ia bertahan.

Kukeluarkan kartu nama Dewi dari sakuku, mencoba mencairkan suasana dan menanyakan pertanyaan bodoh yang sudah kuucapkan di Pasar Festival tadi.

Minggu III Januari 2008

Siang begitu terik, satu hari sebelum pelaksanaan South to South Film Festival ke-2. Panitia inti telah menyiapkan segala sesuatunya untuk mensukseskan acara tersebut.

Belakangan kami begitu disibukkan untuk persiapan teknis, aku dengan urusan logistik seadanya, dan ia begitu sibuk mendistribusikan flyer, invitation, poster dll. Belum lagi segudang aktivitas akademis dan cuap-cuap di udara tiap akhir pekan.

Sabtu 19 Januari 2008 : Persiapan minggu terakhir STOS 2. 1 hari setelah ia Sidang Komisi 1, dirinya tetap harus ke Jakarta untuk melakukan tugasnya sebagai penyiar di Jam 13.00 - 16.00. Dengan motor yang kupinjam dari kakakku, kami berangkat ke Jakarta. Aku antarkan dulu ia ke radio lalu ke Jatam.

Rapat persiapan tidak memakan waktu lama, sebuah sms masuk ke telefon genggamku.

"Ayang, badanku panas".

Ketika kusampai untuk menjemputnya, ia tengah berbaring memegangi perutnya. Pak Muji, keamanan radio sudah memberikan pertolongan. Wajahnya begitu pucat, kupegang perutnya, keras, badan.. leher, kening, semua panas. Tapi matanya terus saja mengatakan, di kepalanya masih tersimpan pekerjaan-pekerjaan yang harus ia selesaikan.

Kupaksakan untuk membawanya ke rumah, aku tahu ia sudah mengeluh sakit pada perutnya sejak senin.... 5 hari sebelumnya, dan ia paksakan untuk bisa bertahan sampai Sidang Komisi tiba. Ia memaksa untuk membawanya ke rumah Om Bud. Tubuhnya kembali kalah dari kekerasan hatinya.

"Kamu jangan membantah, nanti kamu ngerepotin Om Bud. Kamu tinggal aja di Kak Eni, biar ada yang ngerawat", kataku.

"Tapi aku gak mau ngerepotin keluarga kamu" jawabnya menahan sakit, peluknya tak dilepaskan, begitu erat, disandarkan kepalanya dipundakku.

Aku tak peduli, walau entah berapa beban dalam backpack yang aku taruh didadaku. Pikiranku hanya satu sampai dengan selamat ke rumah. kubawa motor itu dengan hati-hati.

"Jangan berfikir macam-macam, gak ada yang merasa direpotkan. tadi sudah dengar di telefon, apa kata kak Eni?". jawabku ketus.

Tak ada percakapan lagi sore itu, awan kembali mendung.

Esoknya ia dibawa ke puskesmas untuk kemudian di rujuk ke Dokter (kalo tidak salah namanya dokter Abdullah)yang mengungkapkan kalo ia terkena thypus, dan harus beristirahat.

Di saat seperti itu, masih saja yang ia pikirkan... Bagaimana tugas2 kuliahku, Bagaimana STOS, Bagaimana Siaran. Dan ia tidak mau tinggal di rumah kak Eni, kalau tidak ada aku.

Kukatakan, selama ia sakit aku akan pulang pergi dan meminjam motor kak Iyus atau Dimas untuk menghemat ongkos. katakan saja apa keperluan kuliah yang harus aku bawa dari tempat kos dan semua barang2 keperluan pribadinya. Jangan fikirkan masalah STOS, walaupun ia diberikan tanggung jawab besar dalam acara itu.

Ia hanya mengangguk kecil diikuti oleh senyum lemah. Aku tau ia tak mau

3 Hari berlalu, tak ada perubahan. Persediaan keuangan menipis, tak ada pilihan lain untuk meminta bantuan Om Bud, walaupun berat. Aku sendiri tak mampu untuk memenuhi kebutuhan finansial pada saat itu.

Kujemput Om Bud, tak banyak yang kami bicarakan selama perjalanan. kubawa ia ke Puskesmas dekat Rumah, yang memang menjadi langganan keluarganya. Aku bilang ke Om Bud, untuk sementara biar ia dirawat di rumahku saja.

Lagi, ia masih memikirkan ujian yang harus dihadapi sabtunya. Aku hanya bilang

"Yah, khan kamu nanti udah sembuh, jadi bisa ujian....". hiburku.

Puskemas itu penuh sesak.

Sebelum pulang, Om Bud juga menyisihkan beberapa lembar uang untuk keperluannya.

"Titip Keponakan saya ya, maaf kalau merepotkan" ujarnya singkat.

Yang paling kuingat adalah, bagaimana ia selalu setia menunggu kedatanganku pulang dari kantor, dan dengan berat melepaskanku bila berangkat. Ia menunggu di balik pintu, sambil terus mengingatkan untuk membawakan keperluan pribadinya.

Kak Eni juga mengingatkan untuk membeli Vermint (Ekstrak Cacing Tanah) untuk tambahan suplemen mempercepat kesembuhan.

"Kalo gak mau dirawat, marahin aja ya Kak Eni...".. kata-kataku disambut dengan wajah cemberut olehnya, lalu kemudian memberikan senyum lebarnya yang selalu ku rindu.

Ia tak mau tidur bila belum melihat sosokku dari balik pintu, padahal selama STOS berlangsung bisa dipastikan aku kembali diatas jam 12 Malam. Baru setelah aku bercerita tentang kegiatan apa yang kukerjakan selama seharian disana. Tugasnya digantikan oleh Tities. Iapun terlelap, tubuhnya begitu lemah. Kukecup keningnya yang dibalas dengan senyum indahnya.

Dua hari berikutnya, ku ajak Dimas (salah satu keponakanku) untuk ikut denganku.
dan hari2 itu ku isi dengan cerita tentang STOS.

Hari liburku kugunakan untuk menemaninya seharian. Ia tampak bersemangat menghabiskan makanannya.




"Ayo, ma'em yang banyak... biar cepet sembuh"

Setelah 10 Hari, kondisinya mulai membaik dan makan dengan normal, sampai kami memutuskan untuk kembali ke Bogor. Tak lupa kak Eni menyempatkan untuk membuat lauk sederhana.

kadang selama di rumah, ia mengirimkan pesan singkat... "Aku gak betah, gak ada kamu"

Tak lama setelah pulih, ia pun kembali tenggelam dengan segala kesibukannya. Benar-benar wanita yang tegar dan kuat, dan ini yang membuat aku makin sayang dan kagum kepadanya.

Sampai saat kugoreskan kisah ini kembali, seperti layaknya sebuah episode begitu nyata didepan mataku tiap kali kumemejamkan mata. Sebuah episode kehidupan yang diputar kembali. aaaah, kembali ke kesendirianku... kupaksakan mata ini untuk terpejam. walau aku diliputi ketakutan mimpi itu datang lagi.


Posted under real circumstance, source will be published and will not claimed as its own writing

0 comments: