Saturday, November 17, 2007

Jangan Biarkan Tarian Itu Terhenti


Lenggak – lenggok beberapa pasang kaki kecil itu seakan tak sadar kalau lantai ruangan sekolah itu hanya berdasar tanah liat, beberapa lubang di dinding tampak menganga. Belum lagi langit-langit yang terlihat sudah mulai rapuh. Hal tersebut tak menyurutkan semangat para siswa sekolah dasar negeri disuatu sudut kampung di Kasepuhan Lebak Cibedug, Kabupaten Lebak - Banten .

Anak lain sabar menunggu gilirannya untuk melatih gerakannya, sambil duduk berdesakan di bangku yang sudah mengeluarkan bunyi, sambil menyilangkan tangan diatas meja beberapa diantaranya hanya memiliki tiga kaki penahan saja. Papan tulis itu masih dapat berdiri walau ditahan oleh meja pada satu sudutnya. Hari itu merupakan hari terakhir persiapan acara kenaikan kelas yang sudah menjadi satu bagian dari budaya yang berkembang di tanah halimun.



Sementara diluar tampak orang tua mereka tengah bahu membahu membangun sebuah panggung sederhana di halaman sekolah, tak peduli walaupun sejak pagi hujan terus mengguyur dan membasahi halaman sekolah. Tidak terlihat satu orangpun yang ada disawah, karena semuanya sibuk mempersiapkan hari besar itu, tak terkecuali ibu-ibu di dapur yang bersama-sama mempersiapkan penganan dan masakan seadanya, hasil bumi mereka.

Di ruang lain para guru yang hanya terdiri dari dua guru tetap dan satu guru bantu tengah berdiskusi mengenai acara esok hari. Di sudut ruang itu tergeletak susunan lemari tak berpintu yang terisi oleh buku-buku bantuan usang tak bersampul, dan kadang beberapa halamannya sudah hilang entah kemana dan jumlahnya tak mungkin bisa untuk dipakai oleh semua murid. Dari 30 murid dalam suatu kelas, hanya 5 saja buku pelajaran yang tersedia, bila pelajaran tiba, enam anak harus berbagi untuk satu buku.

“Semua ini merupakan wujud rasa syukur kami, kami sadar bahwa kami bodoh, dan kami tak ingin anak cucu kami mengikuti jejak kami menjadi orang bodoh” ucap Pak Basri, 60 tahun salah satu baris kolot Kasepuhan Cibedug. “Dulu kami tak punya kesempatan untuk bersekolah dan tak tau pentingnya bersekolah”.

Dimong, anak tertua Pak basri sebagai salah satu tokoh pemuda ikut bicara. “Kami tak ingin seumur hidup selalu dibodohi dan dipinggirkan”. “Walaupun Cuma bangunan sekolah ini yang kami punya dan cuma bisa mengenyam bangku sekolah dasar atau sekolah menengah pertama terbuka yang diadakan digedung yang sama di sore harinya”. Tambah beliau. Dimong, 28 tahun, merupakan satu dari pemuda di Kampung Cibedug yang cuma bisa mengenyam pendidikan sekolah dasar, itupun putus ditengah jalan.

Memang untuk melanjutkan pendidikan, sekolah menengah pertama terdekat berjarak 9 kilometer, di Desa Citorek atau Desa Calebang disebelah barat laut Cibedug dengan medan jalan setapak berbukit-bukit, membelah leuweung kolot dan leuweung titipan yang membatasi dua wewengkon. Sampai sekarang jalan setapak itu cuma bisa dilalui oleh sepeda motor, itupun oleh pengendara yang cukup ahli.


Cuaca masih tak bersahabat keesokan harinya, hujan masih saja turun, tapi tetap tak menggoyahkan keinginan warga kampung Lebak Cibedug dan kampung sekitarnya seperti kampung Lebak Kalahang, Ciara, Cinakeum yang masih berada dalam Wewengkon Kasepuhan Cibedug dan juga beberapa warga dari Kampung Lebak Tugu, wewengkon Kasepuhan Citorek.

Hari itu telah ditunggu, tidak hanya untuk siswa yang akan diumumkan kenaikan kelas dan kelulusannya, namun juga bagi para orang tua yang mungkin tidak mempunyai kesempatan seperti yang anak-anak mereka miliki sekarang. Penganan, mainan dan aneka barang dijajakan disekitar halaman sekolah yang becek itu. Tampak para tetua kampung duduk dengan anggun berpakaian sederhana, berdesakan di lorong kelas dengan Kepala Sekolah, undangan dan orang tua murid.

Sejenak mereka melupakan proses perjuangan yang mereka lakukan untuk mendapatkan pengakuan dan kepastian hukum dari pemerintah atas keberadaan mereka, dan ruang hidup yang mereka miliki. Proses ini dimulai dari tahun 2003, memang merupakan perjalanan yang berat.

Kini perjuangan mereka sudah menampakkan hasil, gayung bersambut dari semua pihak. dukungan dari DPRD dan Bupati Lebak terlihat dengan dikeluarkannya draft SK Bupati, sebagai awal dari pembentukan perda pengakuan keberadaan masyarakat adat Cibedug. Memang untuk menghasilkan perda, bukanlah suatu hal yang mudah, belajar dari pengalaman perda pengakuan Masyarakat Baduy pada tahun 2001.

Rangkaian acara mengalir dengan indah, tak peduli rintik hujan yang masih terus turun. Diawali dengan menyanyikan lagu “Mars Cibedug” yang dinyanyikan penuh hikmat oleh siswa kelas enam yang akan diumumkan kelulusannya menandakan kesan mendalam bagi sekolah tercinta yang akan mereka tinggalkan. Iringan musik dari pengeras suara sewaan tak jelas terdengar, tarian digelar.

Sambil mencoba menghapal gerakan yang mereka latih, anak-anak menari dengan jenaka, tak jarang diiringi gelak tawa dan sorak sorai dari para tamu undangan, dan yang mengejutkan beberapa orang tua juga turut bersuka ria dan terkadang mereka pun ikut naik ke pentas dan larut dalam tarian iringan musik dari aki soak itu. Setiap nama anak mereka dipanggil, maka orang tuanya akan bangun dari tempat duduknya, tak tanggung-tanggung berjingkrak dan menari ditengah gerimis, meluapkan kegembiraan untuk anak mereka.

Tak ada sedikitpun kesedihan yang terpintas dalam benak mereka, seakan semua jerih payah mereka membuahkan hasil. Sejenak mereka melupakan semua tekanan yang selama ini mereka terima dari pihak-pihak yang terus saja meminggirkan mereka dan mencoba mengindahkan keberadaan mereka di situ, semua perjuangan mereka untuk mempertahankan keberadaan mereka dari pemerintah. Wilayah hidup mereka seluas 2.104,4 ha kini berada didalam perluasan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak .

Sementara pikiran melayang kembali pada masa sekolahku dulu di Jakarta, ruang terang benderang, bau pernish masih terasa dari meja dan bangku yang ada. Sungguh dua pemandangan yang bertolak belakang bila melihat keadaan di depan mataku. Aku jadi malu berada diantara anak-anak itu, malu dengan keberuntunganku yang terlahir diantara semua kemudahan dan kemewahan gemerlap kota besar.

Aku berharap, mimpi Pak Basri dan Dimong suatu hari bisa terwujud, karena mimpi mereka sungguh sangat luhur. Kita harus berbuat sesuatu, melakukan perubahan berarti bagi mereka. Aku yakin dengan dukungan dari semua pihak, cita-cita masyarakat wewengkon Kasepuhan Cibedug untuk mendapat pengakuan akan hak hidup dan hak pendidikan yang lebih layak akan terwujud.

Diakhir hari, aku merenung dalam hati “Itukah harga pendidikan sebenarnya, Apakah kita hanya bisa diam tanpa berbuat apa-apa melihat semua kenyataan didepan mata kita. Apakah langkah-langkah mereka harus terhenti pada detik selesainya acara kenaikan kelas itu saja”. Dan langkah-langkah kecil itu akan terus diayunkan.

0 comments: