Monday, November 19, 2007

Mewujudkan Water Front City..... Bisa Gak Ya

Sebagian besar wilayah hulu daerah aliran sungai (DAS) mengalami kerusakan lingkungan. Bila dibiarkan, hal itu bisa menimbulkan berbagai bencana, seperti banjir, tanah longsor, dan kekeringan. Secara umum kerusakan lingkungan itu akibat tindakan manusia. Beberapa tahun terakhir telah terjadi peristiwa penjarahan hutan besar-besaran. Akibatnya, banyak hutan dan lahan menjadi gundul. Agar kerusakan lingkungan tidak berlanjut, perlu ada upaya pemulihan dan peningkatan kemampuan fungsi serta produktivitas hutan dan lahan melalui kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan (RHL).

Pada era otonomi daerah saat ini, pembangunan yang berkelanjutan menjadi suatu yang penting. Berbagai praktisi menilai pada saat inilah pembangunan berkelanjutan dapat dilakukan, karena daerah kabupaten sudah mampu melakukan identifikasi, analisis, dan pengambilan keputusan yang didasarkan atas kondisi daerahnya, sehingga setiap pengambilan keputusan selalu didasarkan atas kondisi aktual kabupaten yang bersangkutan. Akan tetapi banyak juga praktisi yang berpendapat bahwa pendekatan pembangunan otonomi kabupaten akan memunculkan permasalahan akan adanya eksplotasi yang tak tertahankan pada sumberdaya alamnya. Oleh sebab itu diperlukan pendekatan yang cocok untuk tiap kabupaten, dimana memiliki kondisi yang sangat spesifik.
Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan satu kesatuan ekosistem yang unsur-unsur utamanya terdiri atas sumberdaya alam tanah, air dan vegetasi serta sumberdaya manusia sebagai pelaku pemanfaat sumberdaya alam tersebut. Sebanyak 25 daerah aliran sungai (DAS) yang ada di daerah Jabar, saat ini kondisinya kritis, terutama DAS Cimanuk, Citarum, Ciliwung, dan Citanduy. Akibatnya, kerusakan ini bisa menimbulkan banjir, mengakibatkan beberapa bendungan kritis karena airnya dimanfaatkan untuk tenaga listrik atau budi daya air tawar .

DAS di beberapa tempat di Indonesia memikul beban amat berat sehubungan dengan tingkat kepadatan penduduknya yang sangat tinggi dan pemanfaatan sumberdaya alamnya yang intensif sehingga terdapat indikasi belakangan ini bahwa kondisi DAS semakin menurun dengan indikasi meningkatnya kejadian tanah longsor, erosi dan sedimentasi, banjir, dan kekeringan. Disisi lain tuntutan terhadap kemampuannya dalam menunjang system kehidupan, baik masyarakat di bagian hulu maupun hilir demikian besarnya. Sebagai suatu kesatuan tata air, DAS dipengaruhi kondisi bagian hulu khususnya kondisi biofisik daerah tangkapan dan daerah resapan air yang di banyak tempat rawan terhadap ancaman gangguan manusia. Hal ini mencerminkan bahwa kelestarian DAS ditentukan oleh pola perilaku, keadaan sosial-ekonomi dan tingkat pengelolaan yang sangat erat kaitannya dengan pengaturan kelembagaan (institutional arrangement).

Peranan pemerintah daerah yang selama ini menjadi aktor utama pelaksana pembangunan harus berubah menjadi fasilitator pembangunan, dimana aktor utama pelaksana pembanguanan adalah setiap stake-holder yang ada didalam DAS yang bersangkutan. Pelaksanaan penataan ruang dalam mewujudkan pembangunan, pada dasarnya ditujukan untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Hanya saja, dalam pelaksa¬naanya, RTRW belum bisa berjalan dengan baik. Masih ada masalah penataan ruang akibat ketidaksesuaian antara perencanaan dengan pelaksanaan.

Tidak optimalnya kondisi DAS antara lain disebabkan tidak adanya adanya ketidakterpaduan antar sektor dan antar wilayah dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan DAS tersebut. Dengan kata lain, masing-masing berjalan sendiri-sendiri dengan tujuan yang kadangkala bertolak belakang. Sulitnya koordinasi dan sinkronisasi tersebut lebih terasa dengan adanya otonomi daerah dalam pemerintahan dan pembangunan dimana daerah berlomba memacu meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dengan memanfaatkan sumberdaya alam yang ada. Permasalahan ego-sektoral dan ego-kedaerahan ini akan menjadi sangat komplek pada DAS yang lintas kabupaten/kota dan lintas propinsi. Oleh karena itu, dalam rangka memperbaiki kinerja pembangunan dalam DAS maka perlu dilakukan pengelolaan DAS secara terpadu.

Sungai selama ini merupakan tempat untuk membuang limbah, limbah domestik menjadi salah satu penyebab polusi yang terjadi di sungai dan dapat mengakibatkan menurunnya kualitas air sungai, khususnya di DAS Cisadane. Beberapa limbah domestik ini berupa; Plastik atau bungkus kemasan produk, buangan deterjen, limbah industri Pertambangan pada bagian hulu sungai, kemudian pada bagian tengah ditambah dengan adanya aktifitas penambangan pasir yang mengakibatkan sedimentasinya di buang ke sungai, pada bagian hilir oleh adanya kegiatan industri besar selain limbah rumah tangga, industri rumah tangga, dan masih banyak lagi

Implementasi/pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi terhadap upaya - upaya pokok berikut:

1. Pengelolaan ruang melalui usaha pengaturan penggunaan lahan (landuse) dan konservasi tanah dalam arti yang luas.
2. Pengelolaan sumberdaya air melalui konservasi, pengembangan, penggunaan dan pengendalian daya rusak air.
3. Pengelolaan vegetasi yang meliputi pengelolaan hutan dan jenis vegetasi terestrial lainnya yang memiliki fungsi produksi dan perlindungan terhadap tanah dan air.
4. Pembinaan kesadaran dan kemampuan manusia termasuk pengembangan kapasitas kelembagaan dalam pemanfaatan sumberdaya alam secara bijaksana, sehingga ikut berperan dalam upaya pengelolaan DAS.

Jelas disini bahwa manusia memegang peranan penting dalam mengupayakan kelestarian lingkungannya termasuk daerah aliran sungainya. Air di kawasan Halimun, juga merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan, beberapa falsafah penting tentang Air seperti diungkapkan oleh masyarakat Halimun adalah sebagai berikut:

1. ”Ngeunah Cicing Ngeunah Ngising” (bermukim tenang buang airpun tentu bisa tenang), merupakan salah satu falsafah masyarakat Gunung Eusing yang diambil dari bahasa ibu setempat (sunda), yang mempunyai makna kesejahteraan dan keberlanjutan hidup masyarakat sangat berkaitan erat dengan ketersediaan sumber daya air. Bahkan masyarakat mempunyai istilah yang khas apabila menyebut sumber mata air yang dikelilingi oleh pohon bambu yaitu pabangbon, artinya bagian dari kampung yang terdapat banyak pohon bambu kemudian dibawahnya mengalir mata air.

2. Warga Kp. Cisangku adalah air merupakan sumber kehidupan yang dapat dimanfaatkan untuk keperluan sehari-hari dan pertanian. Adapun falsafah air menurut warga adalah “Cai mah bisa direka, hirup ku cai maot jeung cai”.

Cai mah bisa direka dalam artian masyarakat kp. Cisangku mempunyai pandangan terhadap air, bahwa air tersebut banyak manfaatnya.
Hirup ku cai mengandung pengertian, bahwa syariatnya kita hidup salah satunya memerlukan air (taharah memakai air, mandi dengan air, minum dengan air, sebagian besar tubuh kita tersusun oleh air, dsb).
Maot jeung cai, dalam hal ini bukan berarti mati oleh air, akan tetapi air juga dapat digunakan untuk memandikan jenazah (mensucikan/membersihkan tubuh).

3. Air merupakan sumber penghidupan merupakan falsafah hidup tentang air bagi masyarakat yang tinggal di Kp. Nyungcung.
4. Air sebagai kebutuhan pokok, hal ini didasarkan pada kepentingan air di kampung Parigi Tonggoh digunakan untuk kebutuhan rumah tangga, ternak, pertanian dan perusahaan. Keberadaan air menjadi hal yang sangat penting.

0 comments: